Menakar Prospek Rupiah Usai Kenaikan Suku Bunga The Fed

Kenaikan suku bunga bank sentral AS mengurangi ketidakpastian sehingga berdampak terhadap rupiah.

oleh Agustina Melani diperbarui 17 Des 2015, 21:06 WIB
Kurs rupiah yang sejak Rabu lalu menguat drastis, tak bisa menjadi alasan buatmu untuk tetap tenang.

Liputan6.com, Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kurang menggembirakan sepanjang 2015. Rupiah terus tertekan hingga menyentuh level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah melemah 12,76 persen dari level 12.400 per dolar AS pada 31 Desember 2014, dan menembus level 14.028 per dolar AS pada 17 Desember 2015.

Rupiah sempat melemah tajam ke level 14.728 per dolar AS pada 29 September 2015. Angka itu merupakan level rupiah terendah pada 2015. Tekanan terhadap rupiah ini berlangsung sejak akhir kuartal I 2015. Namun pelemahan rupiah itu tak sendirian. Lantaran mata uang Asia lainnya seperti Ringgit juga mengalami hal sama, bahkan alami penurunan tajam mencapai 23,32 persen sepanjang 2015.

Salah satu sentimen mendorong rupiah masih tertekan seiring dolar AS kian perkasa mengingat ekonomi AS membaik. Dengan ekonomi AS menuju pemulihan itu membuat bank sentral AS menaikkan suku bunganya. Kenaikan suku bunga bank sentral AS ini dikhawatirkan memicu aliran dana investor asing keluar dari negara berkembang kembali ke AS.

Meski demikian, sejumlah sentimen internal juga mempengaruhi laju rupiah seperti perlambatan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia melambat ini juga didorong dari ekonomi China melemah. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor ke China terutama komoditas.

Ingin tahu detil penyebab rupiah melemah, sektor apa saja yang terkena pelemahan rupiah dan bagaimana proyeksi rupiah ke depan usai bank sentral AS menaikkan suku bunganya? Berikut ulasan lengkapnya, Kamis (17/12/2015).

Ini Pemicu Rupiah Tertekan

Petugas menunjukkan uang pecahan US$100 di penukaran uang, Jakarta, Rabu (23/9/2015). Mata uang Rupiah sempat melemah ke level 14.655 per dolar AS pada perdagangan pukul 09.50 waktu Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan rupiah tertekan karena berbagai faktor eksternal seperti ekonomi China melambat, spekulasi devaluasi mata uang China yuan, kebijakan bank sentral Eropa yang tidak sesuai harapan.

Tak hanya itu salah satu hal penting yaitu kenaikan suku bunga bank sentral AS. Dengan kenaikan suku bunga tersebut dikhawatirkan dapat mendorong aliran dana investor asing keluar dari Indonesia.

Akan tetapi, sejumlah kalangan menilai pelaku pasar telah mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral AS dalam satu tahun terakhir sehingga dampaknya tidak akan terlalu besar.

Bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) memutuskan menaikkan suku bunga acuannya untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade. Ini menandakan keyakinan kalau sebagian besar ekonomi AS telah pulih dari dampak krisis keuangan 2007-2009. Komite kebijakan the Fed memutuskan kisaran kenaikan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen-0,50 persen.

Pengunjung memperlihatkan uang pecahan US$100 di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rupiah dibuka menguat tipis enam poin ke level 14.064 pada Kamis pagi 17 Desember 2015 dari penutupan perdagangan Rabu 16 Desember 2015 di kisaran 14.070 per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah pun bergerak di kisaran 13.997-14.081 per dolar AS sepanjang Kamis ini. Akhirnya ditutup ke level 14.008 per dolar AS.

Meski demikian, pergerakan rupiah ini masih wajar. Lantaran menjelang akhir tahun 2015 ada permintaan terhadap dolar AS untuk membayar cicilan utang mau pun bunga utang luar negeri.

"Saat ini terbentuk keseimbangan baru, harusnya Rp 13 ribu per dolar AS. Kalau sampai Rp 14 ribu per dolar AS berarti masalah gangguan, faktor musiman permintaan valas yang tinggi. Jadi karena sudah biasa, kecenderungannya menekan rupiah," tutur Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa ‎BPS, Sasmito Hadi Wibowo.

Sasmito menuturkan, kebutuhan dolar AS membengkak seiring kewajiban perusahaan-perusahaan membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri sehingga memicu pelemahan terhadap rupiah. Ia berharap, depresiasi rupiah akan tertahan di kisaran Rp 14 ribu per dolar AS.

"Kita harap bertahan disitulah, kalau bisa di bawah Rp 14.000 per dolaar AS karena keseimbangannya di kisaran Rp 13.000 per dolar AS, saat ini masih ketinggian. Tapi Januari diperkirakan membaik lagi, karena ada penguatan di sektor keuangan," kata dia.

Sektor Kena Dampak Pelemahan Rupiah

Industri otomotif meminta Thailand segera bergabung ke TPP. Menurut mereka, ini dilakukan agar pasar otomotif negara tersebut tetap sehat.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah melemah 12,76 persen ini juga berdampak terhadap sejumlah sektor industri di dalam negeri. Terutama sektor industri berbahan baku impor. Sektor industri itu antara lain sektor otomotif dan elektronik.

Lantaran industri ini masih banyak mengandalkan komponen impor sedangkan pasarnya paling besar berada di dalam negeri. Ditambah industri penerbangan lantaran maskapai banyak membutuhkan dolar AS untuk membayar sewa pesawat, perawatan hingga membayar gaji awak kabin seperti pilot.

Perusahaan memiliki utang dolar AS tetapi memiliki penerimaan pendapatan rupiah juga terbebani dengan pelemahan rupiah. Analis PT BNI Securities Thendra Chrisnanda mengatakan kalau emiten seperti properti, telekomunikasi dan barang konsumsi memiliki utang cukup besar dalam mata uang dolar AS.

Usaha Pemerintah dan Bank Indonesia (BI)

Bank Inodnesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rupiah mengalami tekanan terhadap dolar AS tak membuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berdiam diri. Pemerintah dan BI terus memutar otak untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Paket kebijakan ekonomi jilid I hingga VII pun dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mendukung ekonomi nasional termasuk menjaga nilai tukar rupiah. 

Bank Indonesia (BI) pun mengakui menjaga pergerakan rupiah masih menjadi tantangan paling utama. Gubernur BI Agus Martowardojo mengimbau masyarakat secara disiplin menggunakan rupiah.

BI juga telah mengeluarkan paket kebijakan yang telah dikoordinasikan dengan pemerintah pusat dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, BI juga menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah dan memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valuta asing (valas).

Tanggapan Pengusaha

Petugas menghitung uang pecahan US$100 di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dolar Amerika Serikat (AS) makin perkasa terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai memberatkan bagi dunia usaha. Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto menuturkan, kalangan pengusaha sebenarnya sangat berat menjalankan industrinya dengan dihantui pelemahan rupiah terus menerus. Volatilitas rupiah berat untuk industri karena harus ada penyesuaian terus menerus untuk menentukan laba.

Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Herman Kasih mengatakan, Bank Indonesia (BI) juga perlu menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bila perlu melakukan intervensi untuk menjaga rupiah.

Akan tetapi, bagi pengusaha yang penting saat ini yaitu bagaimana suku bunga acuan Bank Indonesia dapat diturunkan. Dengan demikian bunga kredit bank bisa turun dan akan menggairahkan sektor usaha.

Prospek Rupiah ke Depan

Pengunjung mendatangi tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank sentral AS atau the Federal Reserve pun akhirnya menaikkan suku bunga acuannya 0,25 persen-0,50 persen. Kenaikan suku bunga bank sentral AS ini telah menjadi salah satu faktor mendominasi tekanan terhadap rupiah selama satu tahun terakhir.

Ekonom BNI Ryan Kiryanto menuturkan, kebijakan bank sentral AS itu berdampak jangka pendek dan panjang untuk Indonesia. Pertama, ada terjadi aliran dana investor asing keluar dari negara berkembang termasuk rupiah. Kedua, terjadi tekanan terhadap mata uang negara berkembang di Asia termasuk rupiah. Ketiga, dolar AS akan menguat signifikan.

Ryan memprediksi, rupiah melemah di kisaran 13.800-14.00 per dolar Amerika Serikat (AS) hingga akhir tahun. Namun Ia memprediksi, rupiah kembali menguat di kisaran 13.500 per dolar AS lantaran pasar merespons positif kemajuan ekonomi Indonesia. (Ahm/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya