Liputan6.com, Jakarta Puluhan ribu pengojek online setiap hari mondar-mandir di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Lantas bagaimana bisa keberadaan ojek online, seperti Go-Jek, Grab Bike, Lady Bike, GrabTaxi, Ojek Jeger tumbuh subur di Republik ini?
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, meskipun aturan secara tegas menyebutkan bahwa sepeda motor bukanlah angkutan publik, nyatanya moda transportasi roda dua ini bisa menghasilkan pundi-pundi uang lewat layanan jasanya.
Ojek dianggap satu-satunya angkutan praktis yang bisa menerobos padatnya lalu lintas di kota-kota besar.
"Saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merestui ojek online beroperasi di Jakarta, jumlah pengemudinya langsung bertambah terus. Akhirnya sudah kebablasan, karena jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Dari data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), basis pengojek transportasi berbasis online telah menembus angka sekitar 20 ribu orang. Pengojek online ini tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bali dan lainnya.
"Makin kebablasan karena tidak ada tindakan tegas dari Kemenhub dan Kepolisian atas operasional ojek-ojek online. Padahal ojek bukan angkutan umum yang memenuhi standar keselamatan. Malah bikin ngeri," tegas Djoko.
Baca Juga
Advertisement
Penyebab lainnya, kata Djoko, karena pemerintah belum mampu menyediakan transportasi massal yang baik dan memadai. Saat ini, pemerintah sedang memacu pembangunan angkutan publik, di antaranya MRT, LRT, kereta cepat, trem sampai pembenahan kebijakan transportasi publik, seperti merevisi rute dan sebagainya.
"Ojek online marak karena melihat masyarakat kita yang malas jalan kaki. Jarak 100 meter saja, sudah capek. Di China ada ojek, tapi tidak laku karena punya transportasi bagus, murah dan warganya mau jalan kaki sampai jarak jauh sekalipun," terangnya.
Parahnya lagi, kata Djoko, pemerintah daerah (Pemda) tidak tertarik membangun dan mengembangkan sektor transportasi publik di wilayahnya masing-masing. Alasannya karena tidak menggairahkan pihak swasta dan minim keuntungan.
"Kepala Daerah tidak mau bikin transportasi yang baik, karena tidak ada duitnya, penuh intrik, mending bangun jalan tol yang jelas-jelas menguntungkan. Sebenarnya kalau mau kayak daerah Solo, Go-Jek ditolak, tapi ada solusi cerdas dengan becak online," ucapnya.
Djoko mengimbau, kajian kembali pengoperasian ojek online harus diiringi dengan pembenahan transportasi massal yang memadai di Indonesia. Sarannya, pemerintah membuat zonasi bagi layanan ojek beroperasi di kawasan perumahan.
"Tentu membenahi angkutan umum kan tidak mudah dan perlu waktu, harus ada masa transisi. Dalam hal ini, butuh peran pemerintah untuk menata regulasi terkait sepeda motor baik dari sisi spesifikasi maupun regulasi penyaluran kredit motor. Paling penting ada tindakan tegas dari aparat jika ojek online beroperasi secara ilegal," tukas Djoko. (*)