Liputan6.com, Jakarta - Pengoperasian ojek berbasis online sempat dilarang oleh Kementerian Perhubungan karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebelum akhirnya keputusan itu dibatalkan.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan, pihaknya menyadari ojek online memang tak diatur dalam peraturan tentang transportasi umum. Namun, tak pernah melakukan penertiban. Mengapa?
"Tentu ada dampak sosialnya bagi masyarakat, itu (transportasi online) kan sudah jadi kebutuhan dan susah dihilangkan begitu saja," ujar Badrodin di Mabes Polri, Jumat (18/12/2015).
Baca Juga
Advertisement
Di samping karena memikirkan fungsinya bagi masyarakat, ojek online juga cukup terjangkau tarifnya. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, polri memutuskan ojek online tidak dilakukan penindakan meski melanggar aturan. Yang resmi, dia mencontohkan adalah taksi roda empat, jika terlibat kecelakaan jelas ada asuransinya.
"Kami cari solusi, dan solusinya adalah mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa Go-Jek itu tidak ada asuransinya," kata Badrodin.
Hingga kini belum ada peraturan yang melarang kendaraan roda dua dijadikan kendaraan umum. Tapi, dalam Pasal 23 ayat (3) Pasal 43 (2) PP Nomor 74 Tahun 2014 jelas disebutkan soal kriteria angkutan umum, meliputi mobil penumpang umum dan mobil bus umum.
Selain itu, pada Pasal 39 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian RI nomor 5 Tahun 2012 mewajibkan kendaraan bermotor umum memiliki tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.
Penyelenggara angkutan umum juga harus berbadan hukum dan memiliki izin mendirikan layanan angkutan umum. Ketentuan itu, tercantum dalam Pasal 139 dan 173, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang angkutan jalan.