Liputan6.com, Jakarta - Insitute for Development for Economic and Finance (Indef) menilai pemerintah harus memikirkan kembali rencananya untuk menerapkan pengampunan pajak (tax amnesty). Pasalnya, kebijakan ini dianggap tidak akan efektif untuk mendorong penerimaan pajak.
Pengamat Ekonomi Indef, Berly Martawardaya mengatakan dirinya pesimistis penerapan tax amnesty bakal mendorong peningkatan penerimaan negara seperti yang digaung-gaungkan selama ini.
"Tax amnesty, saya tidak yakin. Data dari negara yang melakukan, dampaknya tidak besar, Afrika Selatan sudah melakukan, tapi jauh di bawah target," ujarnya seperti ditulis Minggu (20/12/2015).
Menurutnya, asumsi pemerintah terhadap penerimaan negara jika kebijakan diterapkan terlalu optimistis. Berly justru khawatir, jika tidak ada mekanisme yang jelas maka kebijakan ini hanya dimanfaatkan untuk menghapuskan kewajiban para pengusaha yang selama ini tak taat pajak.
"Asumsinya memang terlalu tinggi apalagi khawatir setelah diampuni, kemudian secara legal diputihkan, terus uangnya keluar lagi, uang kan namanya di bank, satu klik saja bisa keluar lagi," kata dia.
Baca Juga
Advertisement
Berly berharap, jika pemerintah benar-benar akan menerapkan tax amnesty, maka harus ada mekanisme yang jelas agar uang para pengusaha tidak kembali lagi ke negara lain.
"Jadi bagaimana mekanismenya, setelah yang diampuni harus beli SBI (Sertifikat Bank Indonesia) atau SUN (surat utang negara) setahun yang nggak bisa dicairkan. Itu perlu ada mekanismenya. Jangan hanya oke masuk, akan bisa keluar lagi, itu yang masih belum akhir finalnya," tandasnya.
Menteri keuangan Bambang Brodjonegoro sendiri masih tetap yakin bahwa tax amnesty mampu mendongkrak penerimaan pajak. Bambang mengakui banyak pihak yang tidak senang Indonesia menempuh jalan tersebut demi menggenjot penerimaan pajak. Padahal, pemerintah harus menjalankan pengampunan pajak demi mengurangi ketidakadilan dan memperbesar basis wajib pajak di Indonesia.
Ia menegaskan, pengemplang pajak ataupun masyarakat Indonesia yang belum memenuhi kewajibannya menyetor pajak cukup masif. Kondisi tersebut telah menciderai keadilan bagi orang yang rutin membayar pajak dengan benar. Parahnya lagi, sambung Bambang, pemerintah sulit mengakses data orang Indonesia yang memarkirkan dananya di luar negeri.
"Sudah pada tidak benar bayar pajak, akses perbankan susah, kapan bisa menciptakan keadilan. Makanya tax amnesty jadi terobosan untuk memecah kebuntuan," ucap Bambang.
Tax amnesty lazim diterapkan di negara lain, seperti Italia, Afrika Selatan, Australia. Sementara di Indonesia, menjadi kebijakan yang besar karena jarang dilakukan.
Ia mengaku miris dengan realisasi penerimaan pajak yang selalu gagal mencapai target, padahal perekonomian tumbuh positif. "Punya kekayaan berlimpah, ekonomi tumbuh, tapi uangnya segitu saja. Ternyata banyak uang keluar dari Indonesia ke negara lain walaupun dana itu keuntungan dari sini. Jadi kita ingin menata ekonomi Indonesia ke arah lebih baik, memperbesar wajib pajak, terang Bambang.
Sebagai perbandingan, Bambang mengatakan, Vietnam dan Singapura lebih jor-joran menawarkan insentif pajak untuk menarik uang atau harta kekayaan warga negara lain, termasuk Indonesia. Sehingga Negara ini perlu bersaing memberikan insentif pajak, salah satunya tax amnesty.
"Kita menawarkan insentif memang jauh dari sempurna. Tapi kalau kita tidak nawarin, sedangkan Vietnam menawarkan insentif, ya dana kita semua lari ke Vietnam. Apalagi Singapura yang lebih generous dibanding kita, jadi kita bukan jor-joran," kata Bambang. (Dny/Gdn)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6