Liputan6.com, Jakarta Salah satu solusi untuk bisa memenuhi target pelayanan kesehatan yang baik, bisa dilakukan dengan menaikkan harga rokok. Setidaknya naik Rp 5 ribu saja, hal ini akan menguntungkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Begitu disampaikan Ketua Center for Health Economics and PolicyStudies (CHEPS), Prof Hasbullah Thabrany di sela-sela acara International Casemix and Provider Payment Conference Indonesia 2015 di Gran Sahid, Jakarta, Sabtu (19/12/2015).
"Ketika pemerintah menaikkan harga rokok, pasti ada saja pembelinya. Sekarang, ada 67 persen penduduk yang merokok di Indonesia. Kalau dia merokok kemudian uangnya masuk jadi anggaran kesehatan, maka otomatis akan mengurangi defisit negara akibat banyaknya orang sakit," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia tersebut, perokok bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. "Dari 67 persen perokok, bila harganya dinaikkan Rp 5 ribu, maka ada tambahan Rp 5 triliun. Jika dana ini masuk BPJS, tentu akan cukup menanggung beban kesehatan. Cuma memang butuh perjuangan," jelasnya.
Hasbullah menambahkan, minimnya pelayanan kesehatan memang telah diprediksi jauh sebelum JKN lahir. Ketika itu, para ahli telah menghitung iuran ideal untuk masyarakat miskin atau Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak Rp 36 ribu. Tapi ternyata pemerintah hanya sanggup Rp 19.500, jadi wajar bila saat ini anggarannya defisit.
Namun sebenarnya, kata dia, bukan itu yang menjadi persoalan karena Kementerian Keuangan juga menggelontorkan dana bantuan. "Yang penting sekarang, bagaimana mengubah mindet masyarakat untuk lebih peduli kesehatan. Dan jangan sampai ada beban di Fasilitas Kesehatan Primer ataupun rumah sakit," katanya.