Liputan6.com, Jakarta - Akhirnya pesta demokrasi lokal di 264 wilayah terselenggara secara serentak 9 Desember lalu. Dari sisi keserentakan dan penyelenggaraan, pilkada ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dengan tingkat konflik yang bisa diminimalisir.
Namun demikian, bukan berarti pilkada serentak ini lepas dari kelemahan. Antusiasme publik kurang terlihat, sehingga mengakibatkan target KPU rata-rata partipasi pemilih sebesar 77,5% tidak tercapai. Animo masyarakat yang kurang bukan hanya terlihat pada tingkat partisipasi yang rendah, tapi juga bisa dideteksi pada proses pelaksanaan yang adem ayem.
Ada beberapa alasan utama mengapa pilkada serentak kurang gereget. Pertama, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD mundur dari jabatannya jika ikut bertarung dalam pilkada.
Inilah alasan struktural yang membuat persaingan antarkandidat merosot drastis. Fenomena calon tunggal dan banyaknya wilayah yang hanya diikuti dua pasangan, di antaranya disebabkan oleh aturan baru produk MK ini.
Salah satu pemasok utama kepemimpinan daerah adalah anggota DPR, DPRD dan DPD. Ketika mereka diharuskan mundur ketika mencalonkan diri, tentu banyak yang berpikir seribu kali, apalagi jika peluang kemenangannya kecil.
Baca Juga
Advertisement
Hilangnya sumber utama rekrutmen pemimpin lokal, mempengaruhi persaingan di tingkat elit berimplikasi secara luas: publik disodori pilihan yang terbatas dan dipaksa memilih dari menu yang tersedia.
Kedua, sosialisasi pasangan calon pilkada juga dibatasi dan diserahkan kepada KPU. Akibatnya fatal. Menurut survei-survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia sebelum pilkada 2015, banyak pemilih yang tidak mengetahui ada perhelatan demokrasi di wilayahnya.
Padahal, semarak pilkada selama ini ditunjang oleh geliat pasangan calon dan timsesnya dalam mendekati pemilih.
Sosialisasi KPU yang lemah plus aneka ragam pembatasan kampanye ini bukan hanya berujung pada minimnya greget pilkada, tapi juga menguntungkan petahana. Sejelek-jeleknya kinerja petahana, setidaknya mereka sudah dikenal warganya.
Sementara para penantang biasanya punya problem klasik: minim popularitas. Inilah yang sebagian menjelaskan mengapa petahana dengan rekam jejak buruk bisa melenggang kangkung terpilih untuk kali kedua.
Aturan pembatasan sosialisasi ini awalnya ditujukan untuk menciptakan playing field yang adil, antara pasangan calon yang berkantong tebal dan tipis.
Diharapkan, pasangan calon yang punya integritas dan kapabilitas memadai tapi tak punya modal kapital yang besar, bisa bertarung secara fair dengan mereka yang disokong sumberdaya finansial kuat.
Tapi apa mau dikata, muncul unintended consequences di mana petahana yang sudah mempunyai investasi politik selama lima tahun, justru menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan aturan ini.
Terjadilah hukum besi pemilihan langsung: logika kapabilitas dan integritas tidak serta merta berbanding lurus dengan logika pasar elektoral. Kandidat yang memiliki rekam jejak memukau seringkali tidak memiliki popularitas memadai. Pembatasan sosialisasi membuat "berlian" ini tak mampu menunjukkan pesonanya di hadapan pemilih.
Tentu tidak semua petahana memiliki indeks kinerja yang medioker. Beberapa petahana seperti Tri Rismaharini di Surabaya atau Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, membuktikan bahwa pemilih mengganjar petahana yang berkinerja baik, dengan imbalan kedipilihan yang mencapai hampir 90%.
Tapi harus diakui, sebagian besar petahana terpilih karena memiliki keunggulan komparatif kedikenalan dibanding calon lain, terlepas kinerjanya pas-pasan atau tidak.
Dalam menentukan kandidat yang didukung, partai politik juga bersikap pragmatis dengan mengedepankan kandidat yang memiliki popularitas tinggi.
Dengan memakai pendekatan pemasaran politik, perbaikan kepemimpinan daerah bisa dilakukan melalui dua jalur: Pertama, mengubah demand-side (pemilih) agar sudi memilih calon yang memenuhi kriteria integritas.
Kedua, melalui jalur supply-side dengan "memaksa" partai politik sebagai pihak yang memiliki tiket konstitusional, agar mengusung calon seideal mungkin dalam pilkada.
Di atas kertas, jauh lebih sulit mendidik publik agar memilih kandidat yang baik, karena warga juga memiliki keterbatasan informasi. Dari sisi jumlah, ada ratusan juta pemilih dengan tingkat pendidikan yang terbatas.
Lebih mudah mendesakkan agenda perbaikan sumberdaya pemimpin lokal di tingkat elit partai, ketimbang berjibaku melakukan pendidikan pemilih dengan jumlah sebesar itu.
Tapi apa boleh buat, partai politik lebih suka memilih calon yang potensial menang terlepas apakah rekam jejaknya baik atau buruk. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak dinasti politik berjaya di banyak tempat.
Ini pula yang menyebabkan ada bekas narapidana kasus korupsi atau tersangka kasus hukum bisa memenangkan pilkada. Partai-partai menyodori pilihan yang sama-sama buruk, sehingga pemilih seperti di-fait accomply.
Perlu diingat, kasus korupsi tidak memiliki efek elektoral yang besar dalam pemilu, jika pemilih tidak cukup punya informasi mengenai isu korupsi yang bersangkutan.
Dengan menggunakan teknik eksperimen di Brasil, Winters dan Weitz-Shapiro (2010) menemukan bahwa pemilih cenderung menolak politisi korup, jika mereka memperoleh informasi memadai yang disosialisasikan secara kredibel dan dijangkau publik secara lebih luas.
Pekerjaan rumah terakhir yang perlu digaris bawahi adalah meningkatkan partisipasi pemilih dari kalangan kelas menengah. Inilah anomali perilaku pemilih kita: kelas menengah yang memiliki tingkat informasi dan pendidikan yang lebih baik cenderung golput pada hari "H".
Padahal mereka memiliki evaluasi yang baik, sehingga pilihan kelas menengah bisa membantu calon-calon yang punya rekam jejak baik agar terpilih dalam pilkada. Tingginya golput di kalangan kelas menengah, jelas tidak membantu bagi proses perbaikan politik elektoral kita.