Liputan6.com, Jakarta "Untuk menggambarkan betapa mengerikannya depresi, adalah seperti berada di dalam penjara, di atas kursi roda dengan empat bagian tubuh yang cacat setelah berada di suatu kecelakaan mobil dalam kondisi sadar...dan hal itu masih lebih mudah dan tidak sebegitu menyakitkannya."
Baca Juga
Advertisement
Itulah gambaran depresi seperti yang diilustrasikan oleh komedian Rob Delaney. Lalu, mungkin Anda akan berpikir, bagaimana mungkin suatu kondisi mental dan emosi bisa menjadi sesuatu yang lebih intens dibandingkan dengan penyakit fisik?
Majella O'Donnel seorang wanita penderita kanker payudara mengatakan, "Kankerku adalah sesuatu yang mudah jika dibandingkan dengan depresi." Sementara itu, Lewis Wolpert mengatakan, "Depresi jauh lebih buruk dibandingkan saat menyaksikan istriku meninggal." Depresi digambarkan lebih buruk dari patah tulang, kanker, dan duka cita.
Jadi apa sebenarnya depresi itu, dan kenapa sebuah penelitian menyimpulkan bahwa 10 persen orang akan mengalaminya sekali dalam hidup mereka?
Apa itu depresi?
Walaupun ada banyak orang yang mengalami kondisi ini, namun anehnya para ahli belum mencapai kesepakatan untuk mengartikan apa itu depresi sebenarnya.
Oliver Robinson, seorang neuroscientist dengan spesialisasi gangguan psikiatri mengatakan bahwa ia sering ditanya apa itu depresi, ia tidak biasanya menjawab tidak tahu. Kenapa bisa?
Menurut Robinson, depresi adalah sesuatu yang tidak bisa ditebak hanya dari gejalanya saja. Seorang dokter bisa menyimpulkan seseorang mengalami depresi saat ia menjadi sulit merasa senang, insomnia, dan kehilangan nafsu makan. Namun, disaat yang bersamaan, seseorang yang mengalami hypersomnia alias tidur terlalu banyak, sekaligus makan terlalu banyak juga bisa disebabkan karena mereka depresi.
Robinson menegaskan, dua orang yang didiagnosis mengalami depresi bisa jadi mengalami gejala yang bertolak belakang. Menurutnya, hal ini dikarenakan penyebab memburuknya suasana hati mereka berbeda.
Sebuah fokus baru belakangan ini adalah cara berkomunikasinya bagian-bagian otak yang berbeda. Kondisi depresi bisa muncul ketika sirkuit di bagian-bagian ini mengalami gangguan.
Para dokter memiliki istilah "leaden paralysis" untuk menggambarkan depresi, yaitu perasaan dibebani sesuatu yang berat, tubuh yang merasa ditekan sehingga menyebabkan respons yang lambat.
Louise John, seorang penderita depresi mengatakan bahwa kondisi itu adlaah seperti "awan hitam raksasa yang akan menghisap semua kepribadian dan kepositifan dari tubuh seseorang. Dan meninggalkan hanya cangkangnya saja."
Walaupun penjelasan ilmiah dari depresi belum benar-benar ditemukan, namun para ahli kebanyakan setuju bahwa mereka bisa mengetahui apakah seseorang depresi atau tidak saat melihatnya.
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2009 mengatakan hal itu karena orang yang depresi biasanya terlihat dari caranya membawa diri, yaitu "suatu pola yang diasosiakan dengan kesedihan dan depresi bisa dikarakterisasikan dari menurunnya kecepatan berjalan, ayunan tangan, dan gerakan kepala secara vertikal." Sebuah buku pelajaran bidang psikiatri juga mengatakan agara para dokter memperhatikan apabila seseorang, "menekuk mulutnya ke bawah...memiliki kerutan di tengah dahinya," dan di saat yang sama mempertahankan raut wajah yang selalu tersenyum walau sedang dilanda depresi.
Kenapa banyak komedian mengalami depresi?
Tahun 2014 lalu, dunia dikejutkan dengan kematian komedian dan aktor legendaris Robin Williams yang disebabkan karena bunuh diri. Banyak yang tak percaya Robin Williams yang selalu lucu dan menghibur ternyata mengelami depresi yang akhirnya menyebabkan pria pemenang Oscar ini mencabut nyawanya sendiri.
Namun tahukah Anda bahwa ternyata sebagai besar komedian mengalami depresi?
David Wong, seorang editor dari situs satir Cracked.com mengatakan, "Walau aku tidak tahu persentase dari orang-orang lucu yang mengalami depresi, namun berdasarkan survey kasar dari orang-orang yang kukenal dan bekerjasama, aku akan mengatakan kira-kira 'mereka semua'."
David Wong lalu menjelaskan, apa yang menyebabkan para komedian, atau orang yang biasanya cenderung lucu dan selalu melempar lelucon, cenderung untuk mengalami depresi:
Hal itu dikarenakan orang-orang yang biasanya menjadi badut kelas, atau komedian, memiliki kecenderungan untuk membenci diri mereka sendiri di usia muda atau saat masa kanak-kanak. Hal ini biasanya disebabkan karena kondisi keluarga yang buruk, atau sulit bergaul, memiliki tubuh gemuk atau kondisi tubuh yang berbeda.
Mereka secara tidak sengaja kemudian mengetahui bahwa mereka bisa membuat orang lain tertawa melalui kekurangan mereka tadi, dan kemudian mulai menggunakan lelucon mereka sebagai 'tameng'.
Para komedian atau orang-orang yang lucu tadi kemudian mulai terus menggunakan kekurangan mereka untuk menciptakan lelucon-lelucon baru yang akan membuat orang lain tertawa dan menyukai mereka. Namun, disaat yang sama, justru membuat para komedian tadi menjadi semakin benci pada diri mereka sendiri.
David Wong kemudian menjelaskan, seseorang menggali bagian terburuk dari diri mereka untuk dijadikan bahan tertawan orang lain, dan melakukannya secara terus menerus, dan pada akhirnya menciptakan depresi.
Seperti yang dialami oleh Robin Williams, dan komedian lainnya yang bunuh diri, Chris Farley.
Masalahnya dengan depresi adalah, hal ini bukan sekedar memiliki hari yang buruk yang membuat Anda sedih. Atau berada dalam kondisi hati yang tidak baik, yang bisa Anda hilangkan dengan makan es krim, atau curhat pada sahabat.
Depresi bagi para penderitanya, ibarat berjalan dalam air, terus menerus tanpa ada waktu untuk beristirahat, dan pada akhirnya, yang ingin penderitanya lakukan hanyalah 'tenggelam' agar penderitaan mereka segera berakhir.
Apa saja yang bisa menyebabkan depresi?
Dikutip dari Huffington Post, ditulis Selasa, 22/12/2015, berikut hal-hal yang dapat memicu kondisi depresi:
1. Rokok
Orang yang mengalami depresi biasanya cenderung memiliki kebiasaan merokok. Rokok juga diketahui mengandung nikotin yang dapat mempengaruhi kegiatan transmisi syaraf pada otak, yang kemudian menyebabkan kenaikan pada level dopamin dan serotonin.
Menghindari rokok, dan berusaha untuk tidak merokok akan membantu mengatur keseimbangan kadar kimiawi pada otak.
2. Kebiasaan tidur yang buruk
Sebuah penelitian di tahun 2007 menemukan bahwa partisipan yang sehat, ketika mereka kurang tidur, memiliki aktivitas otak yang lebih tinggi ketika melihat gambar-gambar yang mengganggu, dibanding partisipan lain yang cukup tidur. Reaksi ini serupa dengan aktivitas otak pasien depresi.
"Ketika Anda tidak tidur, Anda tidak memiliki waktu untuk menyuburkan kembali sel-sel otak, otak akan berhenti berfungsi secara baik, dan salah satu faktornya bisa berujung pada depresi," jelas Matthew Edlund, M.D, direktur dari Center for Circadian Medicine di Sarasota, sekaligus penulis buku 'The Power of Rest'.
3. Terlalu banyak mengecek Facebook
Menghabiskan terlalu banyak waktu di situs-situs media sosial diasosiakan dengan depresi, terutama pada remaja. Para pecandu internet memiliki sedikit interaksi langsung dalam kehidupan nyata, yang membuat mereka memiliki pandangan yang tak realistis terhadap dunia.
Tahun 2010, sebuah penelitian menemukan sekitar 1.2 persen orang yang berusia 16 sampai 51 tahun yang menghabiskan jumlah waktu yang besar di dunia maya memiliki tingkat kemungkinan mengalami depresi yang lebih tinggi.
4. Berakhirnya sebuah tayangan atau film
Ketika berakhirnya sesuatu yang penting, seperti serial TV, film, atau bahkan renovasi rumah, hal ini bisa memicu terjadinya depresi.
Pada tahun 2009, para penggemar film Avatar melaporkan mereka merasa depresi bahkan memiliki kecenderungan bunuh diri karena dunia fiksi di dalam film tersebut tidak nyata. Reaksi yang sama juga terjadi terhadap film terakhir dari seri Harry Potter.
Emily Moyer-Guse, Ph.D, asisten profesor komunikasi di Ohio State University di Kolumbus, AS, mengatakan, hal ini karena para penggemar "larut dalam narasi dan melupakan kehidupan nyata dan masalah mereka sendiri."
5. Terlalu banyak pilihan
Memiliki banyak pilihan--baik itu untuk krim perawatan wajah, sereal untuk sarapan, atau pun perlengkapan rumah--bisa membuat pusing. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi pebelanja yang langsung mengambil apa yang mereka perlukan ketika menemukannya.
Namun, untuk sebagian orang merespons pilihan yang banyak dengan cara mereview secara menyeluruh untuk menemukan pilihan yang terbaik. Para peneliti mengatakan hal ini dapat memicu depresi.