Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan soal pencairan dana jaminan hari tua (JHT) ditentang masyarakat yang terjadi pada semester II 2015. Penolakan pencairan dana JHT itu mendorong masyarakat untuk membuat petisi yang diunggah di laman Change.org.
Petisi itu dibuat oleh Gilang Mahardika dengan judul "Membatalkan kebijakan baru pencairan dana JHT 10 tahun". Petisi dari pria asal Yogyakarta itu ditujukan kepada BPJS Ketenagakerjaan, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi dari petisi itu keberatan dengan masa pencairan dana JHT yang harus di umur 56 tahun atau setelah 10 tahun kepesertaan namun dengan nilai 10 persen saja.
Advertisement
Sebenarnya BPJS Ketenagakerjaan memuat kebijakan itu bukan tanpa alasan. Pemberlakuan aturan baru pencairan dana JHT disesuaikan dengan filosofi agar peserta jaminan mendapatkan manfaat lebih besar dengan pemberlakuan aturan baru itu.
Minimnya sosialisasi soal kebijakan baru pencairan dana JHT itu dinilai menjadi alasan penolakan kebijakan baru tersebut. Akibatnya, pemerintah pun merevisi sejumlah poin dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua yang ditandatangani pada 30 Juni 2015. Poin itu antara lain soal nasib JHT pekerja terkena PHK dan pencairan setelah 10 tahun masa iuran.
Kontroversi Waktu Pencairan Dana JHT
Kontroversi Waktu Pencairan Dana JHT
BPJS Ketenagakerjaan yang diresmikan pada 30 Juni 2015 ini mendapatkan protes dari masyarakat usai mulai efektif beroperasi pada 1 Juli 2015.
Protes itu diawali lantaran klaim jaminan hari tua (JHT) oleh sejumlah buruh tidak dapat diproses pada 1 Juli 2015. Bila dalam ketentuan lama jika sudah berhenti kerja dan mencapai usia kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan masih dilayani.
Akan tetapi, dalam poin di PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program JHT, pencairan manfaat JHT hanya dapat diberikan hingga batas tertentu apabila peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun.
PP Nomor 46 Tahun 2015 ini sendiri merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam PP Nomor 46 Tahun 2015 menyatakan kalau manfaat JHT hanya bisa dibayarkan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan (dulu jamsostek) jika peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia atau mengalami cacat tetap toal.
PP itu juga mengatur soal persiapan dan memasuki masa pensiun, pembayaran manfaat JHT dapat diberikan hingga batas tertentu apabila peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun. Kemudian pengambilan manfaat JHT itu paling banyak 30 persen dari saldo JHT, yang digunakan untuk kepemilikan rumah. Lalu paling banyak 10 persen untuk keperluan lain seperti persiapan pensiun.
Kebijakan baru BPJS Ketenagakerjaan itu pun menuai protes dari masyarakat yang diawali dari petisi yang dibuat oleh Gilang Mahardika dengan judul "Membatalkan kebijakan baru pencairan dana JHT 10 tahun".
Petisi dari pria asal Yogyakarta itu ditujukan kepada BPJS Ketenagakerjaan, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi dari petisi itu keberatan dengan masa pencairan dana JHT yang harus di umur 56 tahun atau setelah 10 tahun kepesertaan namun dengan nilai 10 persen saja.
Petisi itu diunggah di laman Change.org, dan pada Juli 2015 itu telah mencapai lebih dari 40 ribu netizen memberikan dukungan untuk petisi tersebut. Isi dari petisi adalah keberatan dengan masa pencairan dana JHT yang harus di umur 56 tahun atau setelah 10 tahun kepesertaan namun dengan nilai 10 persen saja. Menurut Gilang, dengan aturan baru tersebut ia tidak bisa menggunakan JHT tersebut untuk modal usaha setelah keluar dari kerja.
Advertisement
Alasan Pencairan Dana JHT 10 Tahun
Alasan Pencairan Dana JHT 10 Tahun
Manajemen BPJS Ketenagakerjaan menyatakan, kebijakan baru soal pencairan dana JHT ini melihat dari filosofi JHT tersebut. Manfaat dari JHT diharapkan dapat mengurangi risiko karena berkurangnya penghasilan di hari tua.
Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan menilai ketentuan lama pencairan JHT sudah kebablasan. Dalam ketentuan lama disebutkan kalau peserta memiliki masa kepesertaan lima tahun satu bulan dapat mencairkan dana JHT. Ketentuan diberlakukan mengingat krisis moneter 1997/1198. Agar dapat meringankan beban masyarakat saat itu maka pemerintah merevisi aturan tersebut sehingga dapat dicairkan lebih mudah bagi peserta.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya menuturkan, prinsip dari JHT adalah tabungan yang dikhususkan untuk hari tua. Pemberlakukan aturan baru pencairan dana JHT disesuaikan dengan filosopinya.
Hal senada dikatakan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Ia menuturkan, perubahan pencairan dana JHT itu sesuai dengan mandat UU SJSN yang menegaskan kalau klaim JHT setelah kepesertaan 10 tahun. Dalam UU SJSN tidak memberikan alasan pengambilan kalau terjadi PHK, yang berbeda dengan UU Jamsostek.
Selain itu, secara substansi UU SJSN dan PP JHT yang baru sebagai turunannya mengembalikan spirit JHT sebagai skema perlindungan hari tua pada saat pekerja tidak lagi produktif.
"Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua (sebelum memenuhi syarat pencairan) hal itu selain bertentangan dengan UU SJSN, juga keluar dari spirit perlindungan masa tua. Kalau masalahnya PHK kan sudah ada skema pesangon sebagai instrumen perlindungan," tegas dia.
Dia menilai, JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa. Itu yang dipahami peserta selama berlakunya Jamsostek dulu. Begitu dikembalikan ke dalam spirit perlindungan hari tua sebagaimana dalam UU SJSN, maka timbullah kerisauan, walaupun dana JHT tidak akan hilang.
Pemerintah menyatakan kalau skema jaminan sosial dengan empat program seperti JKK, JKM, JHT, dan JP melindungi seluruh risiko para pekerja mulai dari kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan pensiun. Hal itu merupakan terobosan baru dari pemerintah yang sangat berpihak kepada peningkatan perlindungan sosial dan kesejahteraan pekerja.
Pemerintah Revisi PP Nomor 46 Tahun 2015
Pemerintah Revisi PP Nomor 46 Tahun 2015
Pemerintah pun bertindak cepat merespons tuaian protes dari publik soal kebijakan pencairan dana JHT. Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT.
Jokowi menilai, revisi PP itu dapat lebih cepat dilakukan dari pada merevisi UU karena harus melalui proses konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jokowi pun menegaskan, sebenarnya kebijakan yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan tidak keliru. Lantaran lembaga ini hanya menjalankan UU. Akan tetapi, revisi PP hanya akan dilakukan pada pasal yang mengatur pencairan JHT.
Jokowi melihat kalau aturan terhadap pekerja yang kena PHK dan bagi pekerja yang tak lagi bekerja atau menggundurkan diri memang perlu dikecualikan. Karena itu, para pekerja kena PHK dapat mencairkan JHT sesegera mungkin tanpa harus menunggu waktu 10 tahun lebih satu bulan berdasarkan peraturan yang ada kini.
Ketika itu pemerintah mempertimbangkan sejumlah pilihan untuk menyelesaikan protes PP JHT. Pertama, pekerja kena PHK dapat mengambil dana JHT, meninggalkan Indonesia untuk selamanya, dan berhenti sebagai peserta program itu. Kedua, dana JHT dapat dicairkan sebesar 30 persen dari total saldo pekerja jika sudah menjadi peserta minimal selama 10 tahun.
Pada Agustus 2015, pemerintah pun memastikan kalau pekerja yang terkena PHK atau berhenti dari pekerjaannya dapat mencairkan dana JHT selambat-lambatnya satu bulan setelah tidak lagi bekerja. Hal itu diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT.
Advertisement
Pengusaha Dukung Apresiasi Revisi PP Nomor 46 Tahun 2015
Pengusaha Dukung Apresiasi Revisi PP Nomor 46 Tahun 2015
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani mengatakan, pengusaha sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah pemerintah ingin tetap menjalankan aturan lama atau merevisi. Sebab yang berkentingan dalam hal ini adalah buruh itu sendiri.
"Kami tidak masalah, karena yang diprotes itu lebih kepada kepentingan pekerjanya. Kalau kami lebih pada bagaimana subsidi iurannya. Jadi yang paling berkepentingan di sini adalah pekerja," ujar Haryadi saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta.
Meski demikian, pengusaha tetap mendukung upaya buruh yang menuntut perbaikan dalam aturan terkait JHT ini, salah satunya terkait nasib buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Masa kalau di-PHK harus tunggu 10 tahun untuk pencairan dana JHT. Tapi selama dia berhenti dan bekerja di perusahaan lain tidak diambil tidak apa-apa. Keberatannya mereka kan begitu, soal PHK," kata dia. (Ahm/Nrm)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6