Liputan6.com, Pagai Selatan - Sebanyak 10.500 lebih warga masyarakat 4 desa di ujung selatan Sumatera Barat seakan menunggu kebaikan santa menjelang Natal ini. Dari penelusuran Liputan6.com ke lokasi pertengahan Desember lalu, mereka menyambut Natal dengan kondisi sulit.
Warga Desa Malakkopa, Sinaka, Makalo, dan Busalat itu merupakan korban tsunami Mentawai yang direlokasi sejak awal 2011 lalu. Kampung asalnya di pesisir pantai ke dalam hutan rimba.
“Yang sudah jelas itu hanya tapak rumah seluas 30 x 36 meter saja, selebihnya masih kami usahakan. Bahkan akses jalan yang dinikmati masyarakat saat ini adalah milik perusahaan,” ujar Camat Pagai Selatan, Rahmat Jaya, yang ditemui Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Masyarakat di dusun-dusun desa tersebut meski sudah 4 tahun direlokasi tetap tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga ladang-ladang di kampung lama tetap mereka garap.
Advertisement
Selain kenangan dan tanaman di ladang, tak ada lagi yang bisa mereka kemasi dari kampung lama yang diterjang tsunami pada akhir Oktober 2010.
“Ini mau ke lagai (ladang di kampung lama), mau mengumpulkan apa yang tersisa di sana untuk menyambut Natal,” ujar Parlindungan Talileu (50) salah seorang warga Dusun Kinumbu, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Dusun Kinumbu merupakan dusun terakhir dari Desa Bulasat, sekitar 50 kilometer ke arah ujung Pulau Pagai Selatan, daerah paling terluar dari Indonesia. Hanya Samudera Hindia sebagai batas terakhir mereka. Sebanyak 421 kepala keluarga atau kurang lebih 1.500 jiwa di sana tak mampu lagi bertahan hidup.
Seusai direlokasi dari kampung lamanya, mereka tidak memiliki mata pencaharian apa pun. Bahkan mereka tak punya legalitas serta surat-surat tanah di kampung barunya.
Huntap (hunian tetap) baru rampung 90%, tanpa kakus pada awal tahun ini. Mereka tak punya sumber penghidupan di kampung barunya.
“Dulunya saat dipindahkan, kami dijanjikan akan diberikan tanah dan lahan. Namun sampai hari ini, surat tanah atas huntap yang kami tempati tidak ada kejelasan,” ujar Darman (49) warga Dusun Tapak Jaya.
Sejengkal dari huntap yang mereka tempati merupakan lahan HPH milik perusahaan swasta. PT Minas Pagai Lumber Corp, mempunyai legalitas untuk mengelola hutan yang ada di Mentawai. Khususnya yang ada di Pulau Pagai Selatan sejak tahun 1972, seluas 83.330 hektare.
“Kita sudah sering sampaikan, baik itu kepada pemerintah kabupaten hingga kementerian terkait agar persoalan tukar guling lahan dan luas HPH PT Minas Pagai Lumber Corp ini diselesaikan. Sebab masyarakat kami harus memiliki mata pencaharian, tidak mungkin akan terus bergantung dari bantuan,” papar Rahmat Jaya.
Jika masyarakat menebang satu batang pisang saja yang ada di samping rumahnya, mereka bisa berurusan dengan hukum. Padahal, jarak huntap dengan ladang di kampung lama mereka puluhan kilo. Itu hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sekitar 12 jam lebih.
“Kalau di kampung lama, kami memiliki ladang kelapa, ladang pinang, dan bisa bertahan hidup dengan itu. Saat tsunami datang, kami tengah menonton televisi. Tapi di sini, listrik dan air pun tidak ada,” ujar Juara (56), sembari memilih cokelat-cokelat busuk di depan huntapnya.
Warga di dusun-dusun tersebut hanya bisa menanam pisang, coklat ataupun pinang di depan halaman rumah mereka. Untuk pasokan air bersih, mereka sangat mengharapkan hujan.
Setelah Lonceng Gereja Berdentang
Atas bantuan beberapa lembaga kemanusiaan baik itu internasional ataupun lembaga swadaya masyarakat daerah. Tempat penampungan air pun berdiri dan mampu mengaliri air ke beberapa rumah warga, kala hujan
“Kalau kemarau seperti kemarin, kami harus menjemput air ke dusun sebelah, kira-kira 2 jam berjalan dari sini. Kalau di sana kering, kami harus berjalan hingga desa sebelah,” jelas Tarim, Kepala Dusun Kinumbu.
Jika lonceng gereja di samping rumah Parlindungan Talileu berbunyi sebanyak enam kali, itu pertanda bagi masyarakat untuk bersiap menghadapi malam.
Menyiapkan diri akan segala kemungkinan yang terjadi, tentunya mengumpulkan anak-anak mereka ke dalam rumah. Sebab, hanya 1 dari 3 rumah di Kinumbu yang memiliki senter.
Meski sudah ke lagai, dan mengemasi apa yang bisa mereka panen. Hasil ladang tersebut, tidaklah mampu mencukupi kebutuhan mereka. Sebab harga jual yang rendah ke pada pengumpul, atau dengan ongkos transportasi yang tinggi. maka hasil ladang, terpaksa dijual dengan harga yang rendah.
“Pisang ini hanya dibeli pengumpul, Rp 10.000 hingga Rp 25.000 satu tandannya. Sedangkan harga di Kota Padang bisa mencapai Rp 100.000 per tandannya. Kalau kami paksa ingin menjual secara langsung," kata Tarim.
"Ongkos ojek dari sini (Kinumbu) sampai ke Sikakap (Pelabuhan) untuk sekali jalannya, Rp 250.000 hingga Rp 300.000 untuk sekali jalan itu belum termasuk biaya tambahan untuk barang,” ujar Tarim.
Untuk makan sehari-hari masyarakat di beberapa dusun tersebut mengandalkan raskin (beras miskin) yang harganya 3 kali lipat. Satu karung raskin dengan berat 50 kg bisa mencapai harga Rp 150.000 hingga Rp 200.000 belum termasuk biaya angkut ke pedalaman Mentawai itu.
“Kami harus menempuh jarak sekitar 20 km, lalu berjalan kaki dalam lumpur setinggi lutut sepanjang 6 km dengan memikul raskin itu,” jelas Tarim.
Dari 2.938 penduduk di dua desa itu, rata-rata pemeluk Katolik. Di Desa Bulasat sendiri, ada 1.426 masyarakat yang harus merayakan Natal dalam keadaan minim tanpa makanan, air dan listrik.
“Mungkin kami hanya akan menyajikan Subbet (makanan yang dibuat dari keladi, pisang dan umbi-umbian) untuk Natal,” kata Tarim.
Rumah penduduk yang merupakan bantuan pemerintah itu memang tergolong layak, bahkan berlantai keramik. Namun, penghuni rumah di sana tidak memiliki pilihan lain selain mengharapkan bantuan dan menunggu persoalan lahan mereka selesai.
Advertisement