Liputan6.com, Jakarta Kekuasaan dan seni dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia menjadi hal yang kerap menimbulkan konflik. Kekuasaan otoriteristik yang dijalankan Orde Baru misalnya, selalu membatasi ruang gerak para seniman dalam mempertunjukkan karyanya. Hal tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya seni atau khususnya sastra, tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap apa yang tengah terjadi di masyarakat.
Tak khayal beberapa seniman Indonesia yang berkarya selama orde baru kerap mengalami intimidasi, pemberedelan, dan pembubaran secara paksa. Sebut saja seperti penyair WS Rendra, Ratna Sarumpaet, hingga Nano Riantiarno, pernah merasakan betapa beratnya berkesenian di masa orde baru.
Baca Juga
Advertisement
Berikut catatan kelam kesenian Indonesia sebelum reformasi 1998, seperti yang dirangkum tim Liputan6.com, Selasa (29/12/2015).
Intimidasi Terhadap WS Rendra
Tepat 38 tahun yang lalu pada Desember 1977, dalam rapat mahasiswa di Salemba, Jakarta, pembacaan puisi oleh Rendra yang berjudul ‘Pertemuan Mahasiswa’ dianggap memprovokasi dan menghasut mahasiswa untuk menentang penguasa. Pada tahun itu juga, Rendra ditangkap dan menjadi tahanan di rutan militer Jalan Guntur, Jakarta. Pasca kejadian itu, pementasan teater Bengkel Teater Rendra kerap mendapat pengawasan ketat dari aparat.
‘Marsinah Menggugat’ Dibubarkan Polisi
‘Marsinah Menggugat’ karya Ratna Sarumpaet merupakan pementasan teater yang membicarakan perjuangan buruh perempuan bernama Marsinah yang harus dibunuh karena menuntut kenaikan upah Rp 500. Karya-karya Ratna Sarumpaet terkenal bernas dan apa adanya, menguak segala ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.
Pada 1997, pementasan ‘Marsinah Menggugat’ yang akan digelar di berbagai kota dicekal aparat keamanan karena dianggap tidak berizin. Dalam pengakuannya, Ratna kecewa dengan tindakan kepolisian yang semena-mena melarang pertunjukkan ini.
Menurutnya berdasarkan petunjuk lapangan yang dikeluarkan mabes Polri 29 Desember 1995 No Pol Juklak/02/XII/1995 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat yang ditandatangani Kapoltri saat itu disebutkan bahwa, pertemuan budaya berupa pagelaran musik, tarian, drama, pembacaan puisi, dan bentuk lain yang sejenisnya adalah pertemuan yang tidak memerlukan izin.
Pencekalan Sederet Pementasan Teater Koma
Masa-masa gelap Teater Koma terjadi pada akhir tahun 80-an, saat ‘Sampek Engtay’ dilarang pentas di Medan. Pementasan serupa di Jakarta tahun 1990 juga disetop polisi tepat di hari ke-11 pementasannya. Tak hanya itu, ‘Opera Kecoa’ juga dilarang naik pentas di Jakarta pada tahun yang sama. Tak hanya itu pementasan teater ini juga dilarang pentas yang rencananya digelar di empat kota di Jepang.
Entah apa alasan pelarangan tersebut, namun seperti dikutip dari website resmi Teater Koma, Nano Riantiarno menuliskan, Pada suatu malam, 1991, setelah pelarangan pentas yang beruntun itu, Teguh Karya datang ke sanggar Teater Koma. Dia tersedu-sedu dan berujar, “Mengapa mengikuti jejak Rendra? Mengapa ikut-ikutan berpolitik? Sekarang ini, Orde Baru masih sulit dilawan. Tindakanmu ibarat membentur gunung. Lihat sebagai akibat! Kegiatan teatermu dilarang, dan akan terus diawasi."
Pelajaran Berharga
Pengalaman panjang yang terjadi selama pra-reformasi 1998, yang berkaitan dengan pembredelan, pencekalan, dan pembubaran paksa terhadap suatu karya seni, tentu bisa menjadi pelajaran yang paling berharga dalam perkembangan budaya demokrasi di Indonesia. Pembubaran oleh aparat terhadap kegiatan kesenian di Indonesia pada masa Orde Baru menunjukkan, budaya politik pusat kekuasaan belum bisa mentolelir hadirnya kebaruan pemikiran pada saat itu.
Namun demikian, setelah Indonesia berada di era-reformasi, siapa yang bisa menjamin, pemberedelan, pencekalan, dan pembubaran terhadap kegiatan seni tidak akan terjadi lagi?
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6