Liputan6.com, Paris Untuk pertama kalinya, sebuah arsip yang selama ini hanya orang tertentu yang boleh membaca akhirnya terkuak. Di dalamnya membenarkan bahwa Rezim Vichy dan beberapa petinggi pemerintah militer Prancis, selama Perang Dunia II membantu Hitler untuk memusnahkan Yahudi.
Ada 200.000 dokumen yang dibuka ke publik pada Senin 28 Desember 2015 lalu. Arsip-arsip itu bertanggal 1940-1944 saat Prancis di bawah rezim Marshal Phillpe Petain atau dikenal dengan Rezim Vichy.
Sebagai catatan sejarah, saat PD II Prancis terpecah menjadi dua. Satu berada di bawah kekuatan militer Jerman, sementara satu lagi bebas merdeka dari segala penjajahan. Ibukota Prancis dipindahkan ke kota Vichy oleh Petain.
Baca Juga
Advertisement
Dalam dokumen itu, ternyata diketahui rezim yang dipimpin Petain membantu Jerman Nazi mendeportasi 76.000 Yahudi dari Prancis termasuk anak-anak.
Dokumen yang selama ini memiliki akses terbatas untuk dibaca, ditemukan dari Kementerian Dalam Negari masa perang, Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian Prancis. Beberapa arsip juga mencatat investigasi yang tak sukses yang dilakukan otoritas liberal Prancis setelah mereka berhasil mengalahkan Nazi.
Sejarawah Giles Morin mengatakan, arsip-arsip itu menjawab pertanyaan penahanan dan kematian pemimpin pemberontak Prancis kepada Rezim Vichy-- French Resistance-- yang terkenal, Jean Moulin. Dalam dokumen itu, ia berhasil diculik oleh pasukan elit Nazi SS dan tewas dalam tahanan akibat disiksa oleh Nazi pada 1943, seperti dilansir dari BBC, Selasa (29/12/2015
Sebelumnya, banyak rumor mengatakan ia tewas akibat bunuh diri, dan rumor lain mengatakan ia tewas di tangan pemimpin Gestapo Klaus Barbie.
Juga rumor lain mengatakan, Moulin dikhianati oleh seorang Yahudi anggota French Resistance, Raymond Aubrac. Aubrac seumur hidupnya menolak anggapan itu dan terus membersihkan namanya hingga akhir hayatnya pada 2012 di usia 97 tahun.
"Selain kepada keluarga Moulin, selain menjawab teka-teki bagaimana ia tertangkap dan meninggal, keluarga Yahudi lain tentu akan lega setelah mengetahui alasan yang sebenarnya mereka diperlakukan seperti itu," kata Morin.
Membersihkan Nama Kota Vichy
Sebelumnya, arsip itu hanya boleh dilihat oleh peneliti dan wartawan dengan izin khusus dan sulit. Namun setelah 75 tahun, di bawah Undang-Undang Prancis, publik kini berhak mengkasesnya.
Walikota Vichy mengatakan, ia selama ini khawatir akan stigma negatif kotanya. Ia menekankan bahwa Petain dan jenderal-jenderalnyalah orang yang selama ini bekerja sama dengan Hitler dan Nazi.
"Ada banyak cerita tentang kota ini, dan memang ada banyak kebenaran," kata Wali Kota Claude Malhuret. Malhuret adalah wali kota terlama kota itu, sekaligus orang terpandang di Vichy, salah satunya karena ia adalah pendiri lembaga nirlaba kesehatan Doctors Withouht Borders.
"Masalahnya, saat itu perang berkecamuk dan masa itu adalah masa-masa yang begitu membingungkan. Hasilnya, banyak orang yang memberikan stigma negatif kota ini," tambah dia. Ia lega akhirnya kebenaran terkuak juga.
Mantan pejuang French Resistance, Lucien Guyot mengatakan, pemerintahan Petain ternyata membawa kejutan luar biasa bagi Jerman. Nazi kaget sekaligus senang karena tak menyangka Petain berbuat di luar yang mereka harapkan dengan mendeportasi Yahudi termasuk anak-anak ke kamp konsentrasi.
"Dan mereka juga memburu kami dengan penuh kebencian," kata Guyot. "Namun, jelas saat itu adalah kesalahan pemerintah Prancis bukan kota Vichy," tambah dia.
Pemerintah Prancis pasca-perang sempat menolak anggapan bahwa mereka terlibat Holocaust yang dilakukan oleh rezim Vichy.
Namun, akhirnya pada 2007, Presiden Prancis Jacques Chirac secara resmi mengumumkan bahwa Prancis bertanggung jawab dalam hal deportasi Yahudi.
"Saat itu adalah masa penuh kegelapan dalam sejarah negeri ini. Tradisi negara kami begitu terhina," kata Chirac saat itu.
"Jelas, kriminalitas itu telah dilakukan oleh Prancis, oleh negara kami," tambah Chirac.
Prancis kini adalah negara Eropa yang paling banyak komunitas Yahudi, sekitar lebih dari 500 ribu. Namun, hingga kini mereka sering memprotes bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan gerakan anti-semit semakin meningkat di Prancis.