Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) mendesak pemerintah mengambilalih PT Freeport Indonesia agar tidak mengulang kesalahan renegosiasi kontrak karya di masa lalu. Dalam hal ini, Indonesia perlu belajar dari Arab Saudi terkait pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan asing.
Ketua Umum BPP HIPMI, Bahlil Lahadalia mengungkapkan, Freeport diistilahkan warga Papua sebagai harimau yang sedang tertidur sehingga dibutuhkan kecerdasan dan kecerdikan supaya bisa mensejahterakan rakyat Indonesia, khususnya warga Papua.
Ia mengingatkan akan kesalahan pemerintah terhadap kontrak karya yang pertama kali diteken dengan Freeport Indonesia pada 1969 dan disusul kontrak karya kedua pada 1991. Kontrak Freeport akan berakhir pada 2021 dan baru boleh melakukan renegosiasi perpanjangan kontrak pada 2019.
"Jangan lagi bikin kesalahan perpanjangan kontrak, karena kesalahan besar dulu adalah antara pendapatan negara dan hasil yang dibawa Freeport ke perusahaan induknya bagai bumi dan langit," ujar Bahli di kantornya, Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Baca Juga
Advertisement
Kesalahan lainnya, satu kelompok elit mengatasnamakan papua dan rakyat Indonesia untuk membangun posisi mereka terkait Freeport Indonesia serta menyangkut sepakterjang Freeport yang dinilai Bahlil masih lalai membangun Papua, seperti belum ada reboisasi, limbah tidak diolah dan sebagainya.
"Kita perlu belajar dari perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS) di Arab Saudi. Setiap kali perpanjangan kontrak, mereka (Arab) menaikkan sahamnya sampai saham perusahaan AS itu minoritas," tambah Bahlil.
Dirinya menegaskan bahwa Indonesia tidak anti asing seperti Venezuela dan Bolivia yang memaksakan perusahaan asing untuk tunduk pada aturan sebelum jatuh tempo kontrak.
Namun ketika kontrak Freeport berakhir, ia meminta agar pemerintah mencaplok saham Freeport karena sudah terlalu banyak masalah diwariskan oleh perusahaan tambang emas raksasa itu, diantaranya menimbulkan kegaduhan politik.
"Apa susahnya sih ambilalih. Jangan pernah berpikir takut dan tidak mampu mengelola Freeport. Kalau tidak diambilalih, akan memperlemah posisi kita di mata investor. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, belum ada korporasi yang membuat kita seperti diadu domba, bahkan menjatuhkan lembaga negara," tegasnya. (Fik/Ndw)