Liputan6.com, Tel Aviv - Sebuah novel yang menceritakan tentang hubungan cinta antara seorang wanita Yahudi dan seorang pria Palestina dilarang masuk kurikulum sekolah menengah (SMA) di Israel. Alasannya, isi novel itu bisa mendorong terjadinya perkawinan antara warga Yahudi dan non-Yahudi.
Penolakan novel karya Dorit Rabinyan berjudul "Borderlife" (Kehidupan Perbatasan) dan diterbitkan pada 2014 itu langsung membuat gempar Israel. Sejumlah kritikus mengatakan bahwa pemerintah Israel sudah terlalu jauh melakukan sensor.
Bocornya pelarangan diketahui setelah adanya laporan yang ditulis harian Haaretz dan dikonfirmasi dalam sebuah pernyataan oleh Kementerian Pendidikan Israel pada Kamis 31 Desember 2015 lalu.
Kementerian Pendidikan mengatakan, sebuah panel telah membahas untuk menambahkan Borderlife masuk ke kurikulum daftar bacaan untuk tingkat SMA. Tetapi kemudian pihaknya memutuskan untuk tidak memasukkan ke kurikulum. Padahal, para guru telah meminta dimasukkannya novel tersebut dalam daftar bacaan siswa.
Haaretz sebelumnya mengutip sebuah surat oleh pejabat Kementerian Pendidikan Dalia Fenig, yang menulis bahwa buku, yang tahun ini menerima penghargaan sastra bergengsi di Israel, Bernstein, dikeluarkan karena isinya dianggap tidak layak untuk siswa SMA.
"Pemuda dan remaja cenderung meromantisasi dan tidak memiliki pertimbangan yang sistematis tentang perlunya menjaga identitas bangsa dan pentingnya asimilasi," ujar Fenig seperti dikutip The Guardian, Sabtu (2/1/2016).
Dalam sebuah wawancara dengan Radio Angkatan Darat, Fenig juga mengatakan bahwa munculnya pelarangan itu karena bertepatan dengan ledakan kekerasan antara warga Yahudi dan Palestina, adalah tidak benar. Dia juga membantah adanya ketakutan akan muncul ketegangan di sekolah-sekolah jika novel tersebut masuk kurikulum.
Promosi Gratis Borderlife
Sementara itu, televisi Israel Channel 2 melaporkan bahwa penjualan novel Borderlife telah meningkat secara dramatis sejak adanya larangan tersebut.
Bahkan pembawa acara televisi itu secara berseloroh mengatakan kepada Menteri Pendidikan Naftali Bennett bahwa sang penulis novel berterima kasih atas larangannya, yang justru membuat bukunya laris manis.
Baca Juga
Advertisement
Namun, Bennett membela keputusan pelarangan dengan mengatakan isinya tidak boleh menjadi bacaan wajib bagi siswa SMA. Dia membacakan bagian dari novel itu yang katanya menggambarkan tentara sebagai sosok yang sadis, dan rincian asmara antara warga Palestina yang dipenjara karena alasan keamanan dan seorang wanita Israel.
"Haruskah aku memaksa anak-anak Israel untuk membaca ini? Apakah ini menjadi prioritas utama?" tanya Bennett.
Yang jelas, komentar ini dikecam beberapa tokoh kebudayaan Israel, di antaranya adalah Alon Idan, yang mengatakan keputusan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah berniat menjaga kemurnian darah Yahudi.
"Sekarang kita tahu orang-orang Arab dan Yahudi dilarang menjalin hubungan percintaan," kata Idan seperti dikutip AFP.
Novel Rabinyan ini mengisahkan seorang penerjemah Israel yang jatuh cinta dengan seniman Palestina di New York, Amerika Serikat. Kisah asmara ini tak berakhir bahagia karena penerjemah tersebut kembali ke Tel Aviv sementara sang seniman pulang ke Ramallah di Tepi Barat.
Novel ini menjadi salah satu pemenang penghargaan kesusasteraan karya-karya berbahasa Ibrani.
"Penolakan Borderlife ini sungguh ironis, karena ketakutan Israel akan asimilasi justru terjadi di lingkungan Arab di mana kita ada," ujar Rabinyan menanggapi pelarangan itu.