Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah memasuki babak baru dalam sistem perekonomian, yaitu dengan diterapkannya persaingan terbuka dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di awal 2016 ini. Untuk bisa memenangkan era persaingan terbuka tersebut, pemerintah harus mendukung industri dalam negeri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menurunkan harga energi.
Ketua Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan harga energi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus berkaca dari harga energi di beberapa negara tetangga.
"Harga dalam negeri harus dibandingkan dengan negara di luar kalau masuk dan ingin menang di MEA," kata Kardaya, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Minggu (3/1/2016).
Baca Juga
Advertisement
Kardaya menambahkan, harga energi merupakan salah faktor penentu kemenangan persaingan. Calon penanam modal akan memilih negara yang harga energinya paling murah. Pasalnya, harga energi menempati porsi terbesar dalam biaya produksi.
Jika tidak mampu bersaing, maka tidak ada penanam modal yang berminat di Indonesia, sehingga hanya akan menjadi pasar saja. "Kalau tidak mereka (investor) akan mencari tempat yang lebih murah harga energinya," tutur Kardaya.
Menurut Kardaya, DPR pasti akan mendukung, termasuk jika pemerintah berencana untuk menurunkan harga energi. Pasalnya, selain menjadi faktor penentu kemenangan MEA, penurunan harga energi juga dapat mensejahterakan rakyat.
"Sangat mendukung kalau terjadi penurunan harga energi. Kalau kita tarif listrik murah, BBM murah, rakyat pasti senang, pertumbuhan akan jalan. Jadi energi jangan dilihat dari untung rugi bisbis saja, harus juga dilihat dari kebutuhan ekonomi dan pertandingan dengan negara-negara tetangga juga," pungkasnya.
Tantangan MEA
Ekonom Faisal Basri mengatakan, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaimana menarik sebanyak mungkin penanaman modal asing langsung. Bukan hanya menjadikan Indonesia sebagai target pasar semata, melainkan memilih Indonesia sebagai production base untuk pasar regional maupun global.
Sejauh ini Indonesia agak tercecer, Vietnam dan Malaysia lebih banyak dipilih oleh produsen kelas dunia. Belakangan Vietnam menjadi primadona baru. Boleh jadi Myanmar akan menyusul.
Indonesia tidak boleh terpaku pada konsep komoditi unggulan. Kelebihan dari ketiga negara yang disebutkan terdahulu adalah pada kemampuannya beradaptasi dengan sistem global supply chain. Ketiga negara itu mempersiapkan infrastruktur pendukung agar dilirik oleh produsen parts and components. Jadi, yang dijadikan target adalah kegiatan unggulan, bukan produk unggulan.
Di era MEA, ancaman utama bukanlah membanjirnya barang impor dari ASEAN, karena era ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah lama terwujud.
"Durian Bangkok telah lama membanjiri Indonesia. Produk minuman dari Malaysia sudah merajalela. Sebaliknya, Indonesia memiliki peluang memasarkan beragam buah-buahan dan sayur mayur. Kuncinya adalah pembenahan pasca panen dan dukungan logistik."
Jika hendak memperoleh maslahat (benefit) lebih besar, mau tak mau Indonesia harus memperkokoh industrialisasi agar porsi produk manufaktur dalam ekspor naik signifikan. Hanya dengan meningkatkan ekspor manufaktur, Indonesia dapat menikmati additional gains from trade dari peningkatan perdagangan intra-industri.
Namun bagaimanapun, karena pasar Indonesia terbesar di ASEAN—dua kali lipat lebih besar dari Thailand yang di urutan kedua—potensi maslahat yang bisa digapai Indonesia relatif lebih kecil.
"Dengan pertimbangan itu, Indonesia selayaknya mendorong ASEAN memperlebar jangkauan dengan menggandeng negara-negara yang pasarnya lebih besar. Dengan Tiongkok ASEAN telah mengikatkan lewat ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)," pungkasnya. (Pew/Gdn)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6