Liputan6.com, Jakarta - Produsen minyak seharusnya tidak melihat penurunan harga minyak seperti yang terjadi sepanjang 2015 kemarin sebagai sesuatu yang menakutkan. Produsen minyak justru bisa mengambil kesempatan dengan adanya penurunan harga minyak tersebut.
General Manager Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ), Irwansah mengatakan, tidak ada yang bisa meramalkan harga minyak ke depannya. Menurutnya, anjloknya harga minyak dunia yang sempat menyentuh level US$ 37 per barel memang di luar dugaan, namun hal tersebut bukan ancaman. Alasannya, harga minyak dunia pernah berada pada level yang lebih rendah.
"Jika ditarik mundur ke 20 tahun lalu, sebetulnya harga minyak pernah berada di level US$ 16 per barel. Saat itu tidak ada yang memperkirakan bahwa harga minyak bisa menembus level US$ 30 per barel. Sama seperti 2 tahun lalu, harga minyak tidak bisa tembus US$ 100 per barel, tapi sebenarnya pada 2007 pernah sampai US$ 140 per barel tapi kemudian terus merosot," kata Irwansah, seperti yang dikutip, di Jakarta, Minggu (3/1/2015).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Irwansah, kondisi harga minyak saat ini, dapat dimanfaatkan perusahaan produsen minyak untuk mengukur sejauh mana bisa bertahan menghadapinya. "Kondisi ini jadi peluang bagi perusahaan untuk memantapkan posisi untuk bisa survive. Dulu harga di US$ 16 per barel bisa jalan kok, sekarang waktunya berpikir lebih keras," tutur Irwansyah.
Penurunan harga minyak dunia seharusnya tidak dijadikan ketakutan tetapi tantangan yang dihadapi dengan berbagai langkah efesiensi. "Memang benar kondisi berbeda saat itu, yang ingin saya tekankan jangan jadi sesuatu yang menakutkan harga minyak seperti sekarang, toh dulu kita bisa survive dengan harga seperti itu, kita sudah telalu lama dengan harga sangat tinggi, tidak ada yang perkirakan harga minyak US$ 100 per barel, saat tinggi operator dapat margin US$40 per barel hingga US$ 50 per barel tidak telalu care dengan efisiensi," terangnya.
Seperti diketahui, harga minyak mengalami penurunan yang cukup tajam dalam dua tahun terakhir. Pada pertengahan 2014, harga minyak sempat di atas US$ 100 per barel. Namun harga tersebut terus merosot sepanjang 2015 hingga sempat menyentuh level US$ 37 per barel.
Ke depan, fluktuaktif harga minyak diprediksi belum berakhir. Harga minyak pun diperkirakan belum bangkit di awal 2016. Sejumlah analis memperkirakan, harga minyak kembali bangkit di akhir 2016.
Lembaga keuangan internasional, Goldman Sachs memperkirakan rata-rata harga minyak sekitar US$ 38 per barel pada Februari, dan lebih rendah dari 2015. Tekanan terhadap harga minyak terjadi lantaran pasokan minyak mentah tak seimbang dengan permintaan global. Di sisi lain permintaan minyak juga melambat di China. Apalagi China termasuk salah satu produsen minyak terbesar di dunia.
Selain itu, OPEC adalah salah satu pemain minyak terbesar, menolak untuk memangkas produksi miyak untuk mengangkat harga. Namun, Arab Saudi yang memimpin sedang mencoba untuk memeras produsen dengan biaya yang lebih tinggi di Amerika Serikat dan daerah lain.
Hal tersebut telah memunculkan persaingan baru di dalam OPEC. Karena itu Iran sudah siap untuk kembali ke jajaran produsen minyak global. Iran yang sudah lama terkena sanksi produksi dan ekspor minyak, sekarang ingin meningkatkan produksi minyaknya.
Iran berencana meningkatkan produksi minyak sebanyak 1,5 juta barel per hari pada 2016. Hal tersebut dapat membuat pasokan minyak kembali banjir di pasar global.
Harga minyak merosot tajam dari US$ 108 menjadi US$ 37 telah menekan perusahaan AS. Perusahaan minyak pun terjerat utang besar. Industri minyak AS pun harus memangkas tenaga kerja 100 ribu pada 2015. (Pew/Gdn)