Liputan6.com, Jakarta - Peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia, salah satunya dipicu karena harga pangan yang mahal. Bahkan harga jual beras di Indonesia merupakan yang termahal dibanding Thailand dan Vietnam sehingga sulit merosot meskipun harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami penurunan.
Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEUI, Teguh Dartanto mengungkapkan, harga beras di Indonesia 30 persen-50 persen lebih mahal dibanding beras Thailand dan Vietnam. Tingginya harga beras hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengorbankan masyarakat yang menjadi konsumen.
"Kalau harganya beda 20 persen sih masih tidak apa. Tapi kalau mahalnya harga beras sampai 50 persen dari Thailand dan Vietnam, itu kan bermasalah, yang untung pedagang sama petani, tapi korbannya konsumen," tegas Teguh saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (6/1/2016).
Baca Juga
Advertisement
Penyebabnya, kata Teguh, karena pemerintah tidak mempunyai data valid terhadap stok beras. Perum Bulog pun yang selama ini bertugas menyimpan cadangan beras dianggap kurang mengetahui persis stok beras di gudangnya di daerah.
"Stoknya berapa dan seperti apa, pemerintah maupun Bulog tidak tahu, datanya tidak valid. Sehingga jika terjadi kemarau pangan, intervensi telat, harganya sudah naik tajam. Sedangkan pemerintah seolah-olah alergi impor karena ini menyangkut persoalan politik," jelasnya.
Untuk itu, tambahnya, pemerintah perlu melakukan kalibrasi data supaya ada data valid soal stok beras. Dengan begitu, pemerintah dapat menghitung kebutuhan beras setiap tahun, pendistribusiannya dan pada akhirnya dapat menjaga kestabilan harga pangan yang merupakan kunci utama menjaga daya beli masyarakat.
Sekadar informasi, Kepala BPS, Suryamin mengungkapkan, garis kemiskinan naik sebesar 4,24 persen selama Maret 2015-September 2015. "Dari total Rp 330.776 per kapita per bulan pada Maret 2015 menjadi Rp 344.809 per kapita setiap bulan di periode September lalu," ujarnya.
Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. "Sumbangan garis kemiskinan dari makanan mencapai 73,07 persen, sedangkan bukan makanan hanya mempengaruhi 26,93 persen," jelasnya.
Berikut komoditas makanan yang memberi pengaruh besar terhadap garis kemiskinan:
1. Beras : di perkotaan 22,10 persen dan pedesaan 28,74 persen
2. Rokok kretek filter : di kota 8,08 persen dan 7,68 persen di pedesaaan
3. Telur ayam ras : 3,57 persen di kota dan 3,09 persen di desa
4. Daging ayam ras : 3,20 persen di kota dan 1,79 persen di desa
5. Mie instan : 2,61 persen di kota dan 2,46 persen di desa
6. Tempe : 2,18 persen di kota dan 2,08 persen di desa
7. Gula pasir : 2,15 persen di kota dan 3,11 persen di desa
8. Tahu : 2,07 persen di kota dan 1,81 persen di desa
9. Kue basah : 1,73 persen di kota dan 1,65 persen di desa
10. Roti : 1,67 persen di kota dan 1,46 persen di desa.
Komoditas bukan makanan:
1. Perumahan : 9,07 persen di kota dan 7,37 persen di desa
2. Bensin : 3,07 persen di kota dan 2,44 persen di desa
3. Listrik : 2,87 persen di kota dan 1,58 persen di desa
4. Pendidikan : 2,74 persen di kota dan 1,45 persen di desa
5. Angkutan : 1,70 persen di kota dan 0,83 persen di desa.
(Fik/Gdn)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6