Penurunan Harga BBM Tak Dirasakan Pengusaha Transportasi

Pemerintah telah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sebesar Rp 350 dari sebelumnya Rp 7.300 menjadi Rp 6.950 per liter

oleh Septian Deny diperbarui 07 Jan 2016, 09:31 WIB
Aktivitas angkutan umum di Terminal Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (15/10/2015). Dishub Transportasi DKI Jakarta menyatakan bahwa kendaraan umum di ibu kota yang layak jalan hanya sekitar 13 persen. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sebesar Rp 350 dari sebelumnya Rp 7.300 menjadi Rp 6.950 per liter. Namun penurunan tersebut dinilai tidak memberikan keuntungan bagi pengusaha angkutan umum.

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, penurunan harga BBM tersebut hanya menguntungkan sopir angkutan seperti taksi dan angkutan kota (angkot), bukan pengusaha dan pemilik angkutan.

"Situasi penurunan premium tidak berpengaruh terhadap pengusaha, tetapi kepada supir," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/1/2015).

Dia mencontohkan, rata-rata jarak tempuh taksi dan angkot per hari berkisar antara 250 kilometer (km) hingga 300 km dengan rata-rata mengkonsumsi BBM premium banyak 30 liter, maka dengan penurunan harga premium yang sebesar Rp 350 per liter, ada penghematan Rp 10.500. Namun penghematan ini hanya dirasakan oleh supir, bukan pemilik angkutan.

Selain itu, dia juga memastikan penurunan harga BBM yang mulai pada 5 Januari 2016 tidak akan mempengaruhi tarif angkutan. Pasalnya dalam struktur tarif, porsi BBM tidak lebih dari 20 persen. Sedangkan biaya perawatan yang punya porsi lebih besar terus mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu.

"Dalam struktur tarif BBM tidak sampai 20 persen, sekitar 17 persen. Komponen lain berkaitan dengan investasi dan perawatan kendaraan, seperti biaya sewa kantor, biaya operasional termasuk UMP, part yang fast moving seperti oli bisa ganti sebulan 3 kalau tergantung kilometer yang ditempuh, kopling, rem, juga busi. Jadi komponen-komponen ini dalam struktur biaya lebih besar dari BBM," jelasnya.

Menurut Shafruhan, tarif angkutan ini justru seharusnya dinaikan. Pasalnya sejak 2014, biaya operasional akibat kenaikan komponen dan perawatan kendaraan telah naik sebesar 36 persen. Namun selama ini masyarakat selalu berpendapat jika terjadi penurunan BBM maka tarif angkutan juga harus diturunkan.

"Perubahan tarif terakhir terjadi pada Januari 2014. Sedangkan kenaikan biaya operasional sudah terjadi 36 persen dari awal 2014 itu. Tapi kita tidak bisa melakukan adjustment tarif. Karena masyarakat kita terbelenggu dengan pemikiran jika BBM turun maka tarif turun," tandasnya. (Dny/Zul)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya