Pemohon Siap Buktikan Paslon Gubernur Kepri Dibantu Oknum TNI

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) Provinsi Kepulauan Riau‎ (Kepri).

oleh Oscar Ferri diperbarui 08 Jan 2016, 16:22 WIB
Suasana sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/11). Sidang Pengujian UU No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU NO. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) Provinsi Kepulauan Riau‎ (Kepri). Pilkada Kepri ini digugat oleh pasangan Soerya Respationo-Ansar Ahmad.

Kuasa hukum Soerya-Ansar, Sirra Prayuna menilai, banyak terjadi kecurangan dalam kemenangan pasangan calon Muhammad Sani-Nurdin Basirun. Salah satunya indikasi bantuan dari oknum TNI.

Menurut Sirra, dirinya mempunyai bukti yang kuat soal indikasi tersebut. Yakni berupa foto dan dokumen lainnya yang membuktikan keterlibatan oknum anggota TNI dalam jumlah yang besar.

"Pada saat melaksanakan tugas dan fungsi mengamankan kotak suara, misalnya, jumlahnya terlalu besar. Padahal prinsipnya TNI itu kan hanya bantuan saja dan harus koordinasi dengan pihak kepolisian," ujar Sirra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Jumat (8/1/2015).

Dia menjelaskan, adanya kekuatan TNI dinilai telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Karenanya, indikasi itu merupakan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif di mana sangat mempengaruhi perolehan suara pada pemilihan.

Lebih jauh Sirra menjelaskan, kekuatan TNI harus jelas jumlah personelnya, kapan waktunya, dan berapa lama mereka harus ikut serta dalam pengamanan pilkada serentak. Namun yang terjadi, tidak ada kejelasan mengenai hal itu.

"Di Nagoya itu ada buktinya. Ada 4 sampai 5 orang turun dan mengawal Muhammad Sani. Kan yang bisa atau tidak turunkan TNI cuma putusan politik incumbent saja. Makanya kami nilai ini ada kecurangan," ucap Sirra.

Minta Pemilihan Ulang

Dalam perkara yang terigester dengan nomor 115/PHP.GUB-XIV/2016 itu disebutkan juga bahwa adanya 52 ribu Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang seharusnya dihapus dan sudah sesuai dengan keputusan Bawaslu. Namun pihak termohon, yaitu KPU Kepri, dinilai tidak mematuhi putusan tersebut.

"Ada juga 2.000 undangan yang tidak dikirimkan ke pemilih di beberapa kecamatan," ujar dia.

Untuk itu, dia meminta agar majelis hakim dapat melihat bahwa telah terjadi pelanggaran dan kecurangan yan terstruktur, sistematis, dan masif. Dia pun meminta agar majelis hakim dapat memutuskan pemilihan suara ulang (PSU) demi keadilan.

"Maka itu kami menginginkan MK untuk memutus pemilihan suara ulang dan membatalkan kemenangan Muhammad Sani-Nurdin," kata Sirra‎.

KPU Kepri Membantah

Sementara itu, Ketua KPU Kepri Said Sirajudin membantah adanya kecurangan selama penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember lalu. Terutama indikasi keterlibatan oknum TNI. Said mengaku, pihaknya sama sekali tidak menerima laporan adanya keterlibatan oknum TNI tersebut.

‎"Tentang keterkaitan TNI, kami kan hanya penyelenggara saja. Dan soal keamanan itu tanggung jawab Polda Kepri yang berkoordinasi dengan TNI. Kami tidak pernah terima laporan dari masyarakat atau dari panwas terkait intervensi TNI atau bahkan intimidasi. Menurut kami itu tidak jadi persoalan," ujar Said.

Dia menyatakan siap menjawab segala tuduhan dari pihak pemohon. KPU Provinsi Kepri selaku termohon menilai, permohonan ini jauh dari substa‎nsi syarat selisih suara sebagaimana tertuang dalam Pasal 158 UU Pilkada.

"Pada intinya kami sebagai penyelenggara akan siap menjawab semua tuduhan yang disampaikan kepada kami. Karena menurut kami apa yang disampaikan di luar substansi PHPKada. Sesuai ketentuan UU Pilkada, pemilihan ini bisa disidangkan bila memenuhi unsur Pasal 158, yaitu selisih suara," ucap Said.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya