Liputan6.com, Jakarta - Pengamat politik dari Negarawan Center Johan Silalahi menilai, tidak benar ada konflik antara Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Wapres Jusuf Kalla selama pemerintahan 14 bulan ini, menyusul beredarnya wacana reshuffle atau perombakan kabinet jilid II.
Johan yang mengaku memiliki kedekatan khusus dalam bidang politik dengan Jokowi-JK sejak pra-Pilpres 2014 ini menyatakan, duet itu saling menghormati satu sama lain.
"Dalam konteks Jokowi versus JK, saya koreksi bahwa tidak benar ada realitas seperti itu. Yang ada hanya persepsi saja," kata dia dalam diskusi publik bertema 'Jokowi vs JK dalam Isu Reshuffle Jilid II' di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (8/1/2016).
Johan yang sejak awal telah mendukung dan mengusulkan agar Jokowi-JK berpasangan dalam Pilpres 2014 menilai, JK bukan pribadi yang suka menjadi musuh dalam selimut.
Sebaliknya, kata dia, Jokowi sangat menghormati JK sebagai orangtua. Sama halnya dalam memilih dan merombak menterinya, Jokowi maupun JK dianggap selalu mendiskusikan meskipun opini publik terkadang berbeda.
"Saya menjamin tidak ada pertarungan antara Jokowi-JK. Bahwa ada perbedaan dan miskomunikasi, semua orang pasti bisa miskomunikasi. Tetapi niat keduanya sama-sama baik, yaitu menginginkan segala hal dilakukan responsif, cepat, dan taktis," pungkas Johan.
Menteri Saling Pukul
Berbeda dengan Johan, pada acara yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyono menilai, ada dugaan ketidaksepadanan antara Jokowi dan JK dalam memilih menterinya.
Hal ini, kata Arief, terlihat dari para menteri Kabinet Jerja yang terkadang jalan sendiri, tanpa perintah dari Jokowi yang disinyalir dapat perintah JK.
Baca Juga
Advertisement
"Sebenarnya ini memang ada bentrokan Jokowi dengan JK dalam memilih pembantunya, itu terlihat menteri saling memukul. Rini Soemarno adanya di JK, kepukul dengan kasus Pelindo. Lalu Sudirman Said faksinya JK, dia pukul Luhut dalam kasus 'Papa Minta Saham' nama Luhut ada dalam rekaman," beber Arief.
Meski pun memilih menteri adalah hak preogratif Jokowi, namun menurut dia, Jokowi masih tetap mendengarkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam memilih atau merombak menteri-menterinya.
"Reshuffle memang hak Jokowi bukan JK. Tapi sekali pun hak prerogatif Jokowi, namun secara etika dan moral Jokowi masih mendengarkan kata-kata Megawati," ujar Arief.
Berdasarkan Nawacita
Sementara, Politisi Partai Demokrat Khotibul Umam Wiranu mengatakan, penilaian terhadap kinerja menteri seharusnya didasarkan pada program prioritas Nawacita yang menjadi target pemerintah.
"Kalau mau objektif, kinerja pemerintah harus dibandingkan dengan Nawacita. Sejauh mana menteri-menteri menjalankan Nawacita bagi rakyat," kata dia dalam kesempatan yang sama.
Menurut Umam, tolak ukur tersebut bisa dinilai dari kemampuan menteri melindungi warga negara dalam kebebasan berpendapat, serta membentuk karakter bangsa dengan program Revolusi Mental.
Kendati, kata dia, kepentingan politik di tingkat elite tidak dapat dipungkiri lebih besar memengaruhi formasi Kabinet Kerja. Misalnya, antara Jokowi dan JK, serta partai-partai yang terlibat dalam pemerintahan.
"Jokowi dan Jusuf Kalla harus berkompromi soal memilih menteri-menteri. Tidak bisa presiden adu kuat dengan wapres, menggunakan menteri untuk memukul yang lain, misal dalam soal Freeport," pungkas Umam.