Erupsi Gunung Soputan, 750 Hektare Tanaman Terancam Mati

Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara kini sibuk memeriksa kualitas air dan udara akibat letusan Gunung Soputan.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 09 Jan 2016, 08:37 WIB
Tanaman pertanian yang ditutupi abu vulkanik Gunung Soputan

Liputan6.com, Minahasa - Erupsi Gunung Soputan yang terjadi pada Senin 4 Januari 2016 lalu telah merusak sebagian besar lahan pertanian di Kecamatan Langowan Barat, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.

Kondisi ini membuat petani cemas. Sebab tanaman pertanian mereka sudah tertutup debu vulkanik dan terancam mati.

"Saya terpaksa menyiram tanaman tomat dan cabai di tengah ancaman kematian akibat panasnya abu Soputan. Tidak ada pilihan lain memang. Kami petani masih berharap jangan sampai terjadi gagal panen," ujar Donny Rumagit, warga Desa Walewangko, Kecamatan Langowan Barat, Kabupaten Minahasa, Jumat 8 Januari 2016.

Donny, memiliki beberapa hektare lahan pertanian yang ditanami berbagai jenis tanaman seperti tomat dan cabai. "Rata-rata petani khawatir, karena tanaman ini akan mati," ujar alumni Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini.

Sementara, Camat Langowan Barat, Roudy Mewoh mengungkap ada 16 desa di wilayahnya yang terdampak erupsi Gunung Soputan. Di 16 desa ini, lanjut Roudy, terdapat 750 hektare lahan pertanian yang terancam gagal panen.  

"Tanaman pertanian berupa jagung, cabai, tomat, bawang serta tanaman pertanian lainnya ini, ikut terkena debu letusan Gunung Soputan. Akibatnya, sekitar 750 hektare lahan tanaman petani rusak, dan terancam gagal panen pada waktunya," ujar Mewoh.

Desa Noongan Raya, kata dia, adalah daerah terparah terkena curahan abu vulkanik.

Sementara di Kabupaten Minahasa Tenggara, pemerintah setempat sibuk memeriksa kualitas air dan udara akibat letusan tersebut.

Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (BLHKP) Mitra, Robby Ngongoloy mengatakan, penelitian tersebut dilakukan di Desa Pangu Raya, Kecamatan Ratahan Timur hingga Desa Kalatin, Kecamatan Ratahan.

"Tujuannya untuk mencari tahu kualitas dari udara dan air apakah memenuhi syarat bagi kesehatan atau tidak," ungkap Ngongoloy.

Namun, sampai saat ini dia belum mendapat hasil penelitian tersebut karena masih menunggu hasil penelitian yang dilakukan BLH Sulut. "Mereka (BLH Sulut) yang akan membuat resume," ujar dia.

Namun, menurut Ngongoloy, kemungkinan besar kualitas udara di Desa Pangu Raya belum sehat karena masih banyak debu vulkanik yang beterbangan. Air pun, kata dia, belum bisa dikonsumsi karena tercemar abu vulkanik.

"Kecuali mungkin di Kalatin bisa saja sumber air bersih mereka tidak begitu tercemar karena langsung dari pegunungan, dan untuk pastinya kita tunggu hasil pemeriksaan dari tim BLH Sulut," ujar Ngongoloy.

Selain BLH, pemeriksaan kualitas udara dan air, juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat. Mereka juga melibatkan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan, Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan, serta Politeknik Kesehatan Kemenkes RI di Manado.

"Yang kita periksa adalah kualitas air di Pangu dan Kalatin. Kita sementara tunggu hasilnya seperti apa," ujar Kepala Seksi Wabah dan Bencana, Iwan Munaiseche.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya