Liputan6.com, Jakarta Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sudah ditetapkan oleh pemerintah di Indonesia sejak tahun 1996.
Adanya tekad pemerintah tersebut melahirkan sebuah Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) yang bertujuan untuk menggerakkan kesadaraan masyarakat dalam mencapai tujuan pendidikan di Indonesia.
GNOTA berfokus dalam membantu anak dari keluarga miskin untuk menuntaskan wajib belajar sekolah tingkat dasar, hingga sekolah menengah pertama selama 9 tahun. Selama kurang lebih 20 tahun ini hampir 2,3 juta anak di Indonesia telah mendapat bantuan untuk segala kebutuhan sekolahnya.
Biaya yang diberikan kepada satu anak tingkat SD sebesar Rp 250ribu, dan Rp 300ribu untuk satu orang anak tingkat SMP. Bantuan yang diberikan tidak berbentuk uang tunai seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), melainkan GN-OTA memberikan kebutuhan anak berupa barang seperti seragam sekolah, tas sekolah, buku tulis, alat tulis, hingga sepatu sekolah.
Advertisement
Proses pendaftaran Calon Anak Asuh (CAA) dari seluruh pelosok Indonesia diverifikasi serta disetujui oleh kepala sekolah dan juga penjabat setempat. Hal ini untuk menyakinkan para Orang Tua Asuh (OTA) bahwa biaya yang sudah diberikan kepada GNOTA telah dipergunakan dengan semestinya.
Mayrina Tobing selaku Programme Manager mengatakan, "Kami memiliki kriteria anak yang akan dibantu yaitu dengan melihat status pekerjaan dari orangtua si anak yang didapatkan dari kepala sekolah. Kami berkomunikasi langsung dengan kepala sekolah karena ia adalah orang yang tepat untuk menginformasikan kepada kami apa saja kebutuhan para anak", ujarnya kepada Health Liputan6.com, Senin (11/01/2016).
Setiap tahunnya GNOTA memiliki target anak asuh yang akan dibantu. Dan semakin bertambahnya anak asuh maka GNOTA semakin gencar mengajak masyarakat di Indonesia untuk ikut berpartisipasi menjadi orangtua asuh guna mencerdaskan anak Indonesia.
"Kebanyakan orangtua menyuruh anaknya untuk membantu orangtua berjualan demi meraih pendapatan yang lebih, tetapi mereka melupakan betapa pentingnya pendidikan anak ketimbang membantu orangtuanya. Jika bukan kita yang membantu ya siapa lagi?" tutup Mayrina.