Liputan6.com, New York - Harga minyak sempat menyentuh level di bawah US$ 30 per barel pada perdagangan intraday meskipun akhirnya mampu ditutup kembali di atas level US$ 30 per barel pada perdagangan Selasa. Pelemahan terus-menerus harga minyak tersebut terjadi karena kekhawatiran akan permintaan yang melemah di samping produksi yang terus dipompa.
Mengutip Reuters, Rabu (13/1/2016), harga minyak mentah US West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 1,19 per barel atau 3,7 persen menjadi US$ 30, 22 per barel pada penutupan perdagangan. Dalam perdagang intraday, harga minyak WTI sempat menyentuh level US$ 29,93 per barel. Level tersebut pernah dicetak pada Desember 2003.
Sedangkan harga minyak Brent yang menjadi patokan harga global, turun 97 sen menjadi US$ 30,58 per barel. Penurunan tersebut mencapai 3,1 persen. Dalam perdagangan intraday, minyak Brent sempat menyentuh level US$ 30,34 per barel.
Pemicu pelemahan harga minyak ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Pelaku apsar merasa khawatir dengan apa yang terjadi di China. Penurunan pertumbuhan ekonomi China akan sangat berdampak kepada permintaan energi terutama minyak mentah.
Selain itu, tidak adanya langkah-langkah untuk menahan produksi dari para negara-negara produsen minyak juga menjadi penyebab penurunan harga minyak. Produksi yang tidak terkontrol membuat pasokan berlimpah sehingga menekan harga.
Baca Juga
Advertisement
Penurunan harga minyak sepanjang Selasa yang hampir menyentuh angka 4 persen tersebut menambah penurunan yang terjadi sepanjang tahun ini. Jika dihitung sejak awal tahun, harga minyak telah melemah hampir 20 persen.
Beberapa analis memperkirakan bahwa harga minyak bisa menyentuh level US$ 20 per barel di tahun ini. Bahkan analis dari Standard Chartered mengatakan harga minyak bisa menyentuh levelUS$ 10 per barel.
"Posisi bearish ini memang terlalu dalam. Namun memang jika dilihat dari sisi fundamental tidak ada perubahan yang berarti," tutur Dominick Chirichella, Senior Partner di Energy Management Institute.
Direktur Long Leaf Trading Group, Tim Evans menuturkan harga minyak berada di bawah US$ 32 untuk WTI merupakan level kunci support penting.
"Pelaku pasar akan mengikuti perkembangan berita dari China untuk mengubah arah investasinya. Pelaku pasar juga melihat data ekonomi AS pada pekan ini. Pasar membutuhkan sentimen kuat agar mengatasi pelemahan Asia," ujar Evans.
Sebenarnya, harga minyak sempat menguat pada setelah adanya bom yang menyerang Istanbul, Turki. Setelah bon tersebut terjadi beberapa negara yang masuk ke dalam organisasi pengeskpor minyak (OPEC) meminta diadakan pertemuan darurat.
Namun harga kembali jatuh setelah Arab Saudi memberikan sinyal untuk membatalkan pertemuan darurat tersebut. OPEC memang beberapa kali menunda pertemuan yang diusulkan oleh para anggota.
Pada pekan ini, pelaku pasar akan mengamati data produksi minyak mentah AS dan neraca perdagangan China. (Gdn/Nrm)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6