Liputan6.com, Jakarta Putu Wijaya kecil pernah dimarahi gurunya lantaran menulis tentang musim semi saat ditugaskan untuk mengarang di sekolah. Sang guru menganggap di Indonesia tidak ada musim semi, dan menilai Putu Wijaya terlalu jauh berkhayal.
“Pada saat itu saya diam saja, saya tidak berani melawan karena dia guru,” begitu kata Putu Wijaya ketika menceritakan sepotong kisah masa kecilnya.
Ditemui Liputan6.com di rumahnya di kawasan Ciputat, Tanggerang, beberapa waktu silam, Putu Wijaya nampak masih semangat meski usianya sudah memasuki angka ke-70 tahun. Besar sebagai sastrawan serba bisa karena telah menghasilkan berbagai karya berupa novel, kumpulan cerpen, naskah drama, dan bahkan lukisan, ternyata Putu wijaya terlahir dari keluarga yang bukan seniman. Hanya saja keluarganya suka membaca, dan kebiasaan tersebutlah yang kemudian menular pada Putu Wijaya, sehingga dirinya menjadi anak yang gemar membaca.
Baca Juga
Advertisement
“Saya membaca apa saja, saya juga membaca koran nasional Star Weekly yang diberikan kakak saya, di dalamnya ada cerita pendek, cerita bersambung, cerita detektif, dan cerita silat,” begitu kata Putu Wijaya menambahkan.
Dari kegemaran membaca sejak kecil, memunculkan keinginan untuk menulis dan menghasilkan buku seperti apa yang dibacanya. Awalnya Putu Wijaya tidak mendapat dukungan, mengingat orang tua di zaman dulu tidak merasa bahwa kesenian sesuatu yang bisa memberikan janji kesejahteraan, termasuk di Bali, yang dahulu masyarakatnya masih beranggapan kesenian hanyalah sambilan.
Putu Wijaya juga mengagumi beberapa sastrawan, seperti Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Di awal-awal pencarian, Putu Wijaya menulis dengan cara meniru-niru gaya bahasa karya sastrawan yang dibacanya. Kemudian proses kreatif Putu Wijaya berkembang, sehingga dirinya ingin sekali menulis dengan caranya sendiri, yang orang lain tidak suka, menulis berdasarkan keinginannya yang paling jujur. Dari hal tersebut kemudian Putu Wijaya menuliskan sesuatu "semaunya" sendiri, sesuatu yang berdasarkan pengalamannya sendiri.
Bagi Putu Wijaya, menulis "semaunya" merupakan pengakuan jujur kepada diri sendiri yang tidak dimiliki orang lain. Menulis semaunya tentang pengalaman pribadi yang konyol tentu menjadi sesuatu yang khas jika dibaca orang lain. Kemudian dari tahap itu, pencarian Putu Wijaya makin berkembang dan tidak lagi menuliskan hal-hal yang bersifat pribadi, tetapi menulis tentang lingkungan di sekitarnya. Kemudian lebih berjarak lagi dengan menuliskan tentang orang lain, menuliskan tentang isu-isu terhangat dari berita yang diendapkan, sehingga menjadi sebuah tulisan fiksi yang bisa diterima banyak orang. Sampai pada akhirnya Putu Wijaya menemukan gaya kepenulisannya sendiri.
Putu Wijaya menilai perkembangan sastra di Indonesia saat ini sangat baik. Hanya saja kadar sastra dalam sebuah karya sastra kini malah menjadi berkurang. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut, yang pertama adalah makin banyaknya penerbitan.
“Kalau dulu, bacaan sastra itu penerbitnya kurang sekali, sekarang gencar. Kalau dulu buku kita diterbitkan kita merasa bangga, karena dia melalui suatu seleksi. Tapi sekarang siapapun bisa melakukan sesuatu (menerbitkan buku), gampang kan? Jadi sekarang sesuatu yang diterbitkan bukan jaminan bahwa isinya bagus,” kata Putu Wijaya menjelaskan.
Yang kedua, Putu Wijaya juga menangkap adanya kecenderungan penulis pemula yang menulis dengan tujuan untuk menjadi kaya. Hal tersebut yang mendorong mereka (para penulis pemula) menulis sesuatu yang lebih pop, yang dirasa lebih book seller. Sehingga membuyarkan konsentrasi dan mengarahkan mereka untuk menulis yang lain.
Gejala-gejala ini menurut Putu Wijaya merupakan ekses dari pelajaran sastra yang tidak diperhatikan di sekolah, dibuang dan dianggap tidak penting. Padahal pelajaran mengarang, bahasa, dan sastra di sekolah sangat penting untuk mendidik orang agar mampu menata pikirannya, karena sastra bukan hanya perkara berkhayal, melainkan juga membuat perhitungan, membuat strategi, dan berakal.
Selain dikenal sebagai sastrawan yang mencipta banyak tulisan fiksi, baik novel maupun cerpen, Putu Wijaya juga dikenal sebagai pendiri sekaligus sutradara Teater Mandiri yang mengusung konsep “bertolak dari yang ada”. Konsep ini merupakan formula dalam berkesenian yang menuntut setiap individu untuk berpikir lebih kreatif. Bertolak dari yang ada bukan berarti setiap kelompok teater bisa mementaskan karya dengan cara seadanya. Di dalam konsep berkesenian tersebut sesungguhnya terdapat nilai filosofis yang mendalam, bahwa dalam apa adanya itu sesungguhnya tersembunyi berbagai peluang yang tidak mungkin dilakukan jika memiliki segalanya.
Putu Wijaya juga mengkritik teater kampus yang selalu merasa boleh melakukan sesuatu yang tidak bagus dalam pementasan dan menjadikannya sebagai pewajaran. Legitimasi pewajaran itu didapat karena teater kampus menganggap, mereka masih mahasiswa dan masih dalam tahap belajar. Teater kampus di mata Putu Wijaya seharusnya bisa menjadi besar melebihi teater yang ada di luar, mengingat anggota teater kampus adalah mahasiswa yang secara akademis akan lebih menguasai teori ketimbang teater pada umumnya. Namun pada kenyataannya tidak, teater kampus hanya sebagai tempat bermain, tempat singgah untuk menghabiskan waktu saja.
Selain itu, Putu Wijaya menyayangkan pihak kampus yang tidak mendukung kegiatan teater di kampus. Kurangnya dukungan tersebut karena pihak kampus menganggap kegiatan teater tidak ada hubungannya dengan akademik. Kampus sebagai institusi pendidikan juga dirasa tidak memberikan penghargaan bagi mahasiswa yang berhasil menggelar pementasan teater. Menurut Putu Wijaya, jika kampus memberikan perhatian lebih kepada kerja teater kampus, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan hadir teater kampus di Indonesia yang bermartabat di mata penonton. Seperti yang terjadi di berbagai negara di dunia, yang telah melahirkan teater kampus bermartabat dan bahkan mampu membawa pembaharuan dalam dunia seni teater pada umumnya.
Hidup Adalah Perjalanan Panjang yang Tak Ada Titiknya
Semakin tua usia seseorang sebenarnya makin terbuka matanya untuk melakukan hal lain, itulah yang dirasakan oleh Putu Wijaya. Memasuki usia yang ke-70 tahun, Putu Wijaya menyadari masih banyak yang belum dilakukannya. Bahkan dirinya menganggap pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain melalui berbagai karya sastra yang telah diciptakannya tidak sampai dengan utuh. Selain menjadi persoalan, hal tersebut oleh Putu Wijaya juga disyukuri dan dijadikan sebagai pelecut semangat dalam diri untuk terus produktif di jalan kesenian.
Bagi Putu Wijaya segala kesalahan dan kegagalan yang terjadi merupakan peluang untuk melangkah lebih jauh. Karena di dalam pencarian yang tidak tuntas sesungguhnya terdapat hikmah agar manusia terus mencari. Hidup adalah pencarian yang tak pernah selesai; ketika sampai pada satu titik, manusia akan dihadapkan pada titik yang lain, begitu seterusnya hingga manusia menyadari bahwa apa yang dicari sesungguhnya tidak ada.
Formula itu yang dipakai oleh Putu Wijaya di usianya yang semakin senja, sehingga di dalam kesehariannya yang harus menjalani terapi kesehatan, Putu Wijaya masih tetap produktif berkesenian. Tetap menulis di kursi roda dengan tangan kiri karena sebagian tubuhnya mengalami stroke, tetap mengajar dan mementaskan teater sambil tidak lupa untuk menghasilkan lebih banyak lukisan. Karena di mata Putu Wijaya, hidup adalah perjalanan panjang yang tak ada titiknya.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6