Liputan6.com, Jakarta: Lidah tidaklah bertulang. Karenanya, mudah saja kata-kata dilontarkan. Apalagi kata-kata tak perlu dibeli. Namun, dalam hidup, hati-hatilah dalam berkata. Setiap ucapan pada dasarnya adalah pengharapan atau doa. Dan setiap pengharapan bisa saja terkabulkan.
Ketika mengungkapkan bahwa target Internazionale musim ini hanyalah finis di zona Liga Champions, secara tidak langsung Presiden Inter, Erick Thohir, dan allenatore Roberto Mancini tengah merapalkan pengharapan agar Inter musim ini tak usah merebut Scudetto. Entah karena mereka realistis atau justru pesimistis.
Baca Juga
- Antisipasi Teror, Old Trafford Dipasang Kaca Antipeluru
- Barca-Espanyol Kian Sengit, Clemente Sebut Pique Hooligan
- Hari Ini, Wasit Serie B Liga Italia Resmi Kantongi Kartu Hijau
Advertisement
Minggu, 10 Januari 2016, pengharapan itu mulai terkabul. Kekalahan 0-1 di kandang sendiri dari Sassuolo membuat Inter urung menjadi campione d'inverno atau 'juara musim dingin' yang sejak pasca-calciopoli menjadi syarat untuk merebut Scudetto.
Bahkan, sejak sistem tiga poin untuk kemenangan diberlakukan pada 1994-95, hanya ada empat campione d'inverno yang gagal merebut Scudetto.
Gara-gara kekalahan pahit lewat penalti Domenico Berardi pada injury time itu, La Beneamata terjun ke posisi ketiga. Mauro Icardi cs. dilompati dua rival utama sekaligus, Napoli dan Juventus. Mereka kini tertinggal dua angka dari I Partenopei dan kalah selisih gol dari I Bianconeri.
Meski kegagalan menjadi campione d'inverno mungkin tak terlalu diratapi, kekalahan dari Sassuolo tetap saja disesalkan Mancini. Dia menyebutnya sebagai kesialan luar biasa.
"Kami menciptakan banyak peluang. Sayangnya, kiper mereka sangat bagus," keluh Mancio usai laga. "Bagi saya, lebih baik tertekan, bermain buruk, namun menang 1-0 daripada mengalami hal ini."
FONDASI RAPUH
Hal yang perlu diwaspadai Mancio, posisi Inter di zona Liga Champions —3-besar Serie-A— belumlah aman. Mereka hanya unggul satu poin dari Fiorentina yang berada di tangga keempat. Tak heran bila dia memperingatkan anak-anak asuhnya untuk menyingsingkan lengan baju lebih tinggi pada pekan-pekan ke depan.
Itu penting karena keberhasilan Inter berada di papan atas dan delapan pekan menjadi capolista sepanjang paruh pertama musim ini sebenarnya dibangun di atas fondasi yang rapuh.
Hal paling mencolok tentu saja rentetan kemenangan tak meyakinkan. Sebanyak 10 dari 12 kemenangan Inter diraih dengan selisih satu gol. Delapan kali mereka menang 1-0 dan dua kali dengan skor 2-1.
Koleksi 24 gol dalam 19 giornata atau 1,26 gol per laga juga modal yang minim. Sejak 1994-95, perebut Scudetto setidaknya mencetak 1,34 gol per laga. Bahkan, usai calciopoli, rata-rata gol tim juara setidaknya 1,71 gol per laga. Saat ini, Napoli (2,00), Juventus (1,73), Fiorentina (1,95), dan AS Roma (1,90) yang memenuhi persyaratan tersebut.
Masalah utama Inter terletak pada jumlah tembakan yang minim. Rata-rata 13,6 tembakan per laga hanya menempatkan Inter di posisi ke-7. Mereka terpaut lumayan jauh dari Napoli yang rata-rata melepas 17,3 tembakan dalam setiap pertandingan. Inter bahkan kalah dari Empoli dengan 13,7 tembakan per laga.
Itu diperparah oleh jumlah tembakan tepat sasaran yang juga rendah, hanya 4,5 tembakan per laga. La Beneamata berada di bawah Napoli (6,1), Roma (5,4), Fiorentina (5,2), dan Juventus (5,1). Rendahnya jumlah tembakan tepat ini tentu saja berpengaruh terhadap kans terjadinya gol.
Modal apik Inter hanyalah jumlah kebobolan yang minim. Hingga giornata ke-19, merekalah tim yang paling jarang kebobolan. Hanya 12 kali jala gawang La Beneamata dijebol lawan. Bahkan, mereka membuat clean sheet dalam 12 pertandingan. Ini modal apik mengingat sejak 2007-08, peraih Scudetto selalu tim dengan pertahanan terbaik.
Meski begitu, jumlah kebobolan yang minim itu tak mencerminkan pertahanan kokoh. Rekor hanya kebobolan 12 gol dan membuat 12 clean sheet sangat dipengaruhi performa apik kiper Samir Handanovic.
Sepanjang paruh pertama, dia membuat 71 penyelamatan atau hampir empat penyelamatan dalam setiap laga. Dia hanya kalah sibuk dari Emiliano Viviano (Sampdoria) yang membuat 80 penyelamatan.
Advertisement
FORMULA BARU
Mancio harus mencermati modal yang minim itu. Memasuki paruh kedua, La Beneamata harus memperbaiki performa. Bukan cuma untuk memastikan tiket Liga Champions, melainkan juga memelihara kans untuk merebut Scudetto meski hal itu tak begitu diharapkan.
Untuk itu, Mancio harus berpikir jernih. Seperti Massimiliano Allegri di Juventus pada awal musim, dia tak perlu terjebak dalam bias aksi. Menurut Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly, saat menghadapi suatu masalah, orang kerap kali bersikap reaktif dan mengambil aksi secara terburu-buru. Itu karena bereaksi lebih cepat dianggap lebih tanggap dan cerdas.
Memang benar, andai aksinya itu tepat, seseorang yang mengambil putusan cepat akan terlihat heroik. Padahal, kerap kali itu hanyalah kebetulan belaka. Menurut Dobelli, sebenarnya cara terbaik adalah menunggu dan mempertimbangkan opsi-opsi yang ada.
Pada masa transfer saat ini, langkah reaktif yang bisa diambil Mancio tentu saja meminta tambahan pemain baru. Namun, itu rasanya tak akan jadi panasea bagi Inter. Musim lalu, kedatangan Lukas Podolski dan Xherdan Shaqiri terbukti tak berdampak signifikan terhadap prestasi La Beneamata.
Hal terpenting bagi Mancini adalah mencari akar masalah yang ada di timnya dan coba menemukan solusi tepat dengan membuat formula-formula baru. Tanpa itu, posisi La Beneamata sangat rawan. Bisa saja tiket Liga Champions pun luput dari genggaman.
Bukan hanya masalah taktik dan strategi yang harus dipikirkan Mancio. Inter juga menghadapi masalah psikis. Bagaimanapun, terlempar dari capolista yang dikuasai sejak giornata ke-15 hingga 18 pasti menimbulkan keresahan dan kegamangan. Kepercayaan diri para pemain sangat mungkin mulai terkikis. Apalagi bila melihat geliat luar biasa para rival, terutama Juventus yang memenangi sembilan laga terakhir.
Tekanan psikis lain tentu saja bayang-bayang déjà vu tak mengenakkan. Musim ini, Icardi dkk. mengawali musim dengan apik. Mereka tak kehilangan poin dalam lima giornata awal. Sialnya, setiap kali mengawali musim dengan setidaknya empat kemenangan beruntun, La Beneamata tak pernah juara. Mereka bahkan selalu finis di belakang Juventus.
Pada 1966-67, Inter membukukan kemenangan dalam tujuh giornata awal. Mereka menguasai puncak klasemen dari giornata ke-2. Namun, Scudetto urung diraih karena Juventus mengudeta mereka pada pekan terakhir. Hal itu berulang pada 2002-03. Membuka musim dengan empat kemenangan beruntun, La Beneamata lagi-lagi hanya jadi runner-up di belakang I Bianconeri.
Paruh kedua akan jadi ujian tersendiri bagi Mancini. Ujian terhadap maginya yang semula diyakini mampu mengembalikan kejayaan La Beneamata dan kebahagiaan para interisti. Gagal menunjukkannya, bukan tak mungkin dia harus pergi dari Giuseppe Meazza pada akhir musim nanti.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.