Liputan6.com, Jakarta Fakta mengejutkan terungkap pada awal 2016. Pundi-pundi harta 62 orang terkaya di dunia ternyata lebih dari kekayaan yang dimiliki setengah populasi manusia di Bumi.
Fakta ini diungkapkan oleh organisasi swadaya masyarakat yang mengurusi soal kesejahteraan masyarakat dunia, Oxfam Internasional.
Oxfam menjelaskan fakta ini cukup mengejutkan. Pasalnya, pada 2010, butuh 388 orang kaya untuk menyamai jumlah kekayaan setengah populasi masyarakat dunia.
Lebih mengejutkan lagi, menurut Oxfam, orang-orang paling tajir di dunia dalam 5 tahun terakhir mengalami kenaikan harta kekayaan hampir sebesar setengah triliun dolar Amerika Serikat atau 46 persen.
Hal ini dinilai tragis. Penyebabnya adalah saat para orang-orang kaya ini megalami penambahan kekayaan, sebanyak 3,6 miliar penduduk Bumi kehilangan harta sebanyak US$ 1 triliun.
"Kekayaan mereka naik dengan cepat dan telah mengguncang (grafik) piramida tersebut, dan betul piramida itu sudah terguncang," ujar Direktur Kebijakan dan Riset Oxfam, Deborah Hardoon, seperti dikutip dari CNN, Senin (18/1/2016).
Baca Juga
Advertisement
Oxfam mengatakan mereka sebenarnya sudah memprediksi hal ini. Namun, prediksi mereka lebih cepat 1 tahun dari yang diramalkan.
Selain mengeluarkan laporan tersebut, Oxfam juga menyampaikan data terkait gap antara orang miskin dan kaya. Mereka menyebut gap tersebut di akhir 2015 semakin lebar.
Berdasarkan laporan tersebut, 20 persen warga dunia hidup dalam garis kemiskinan. Mereka hanya memiliki penghasilan sebesar Rp 26.500 perhari.
"Jadi ini membuktikan bahwa perekonomian global dunia tidak berhasil mengentaskan orang dari kemiskinan," ucap Wakil Kepala Divisi Riset Oxfam, Deborah Hardoon.
Selain Oxfam, laporan yang sama mengenai gap kekayaan antara orang kaya dan miskin juga dirilis oleh Pusat Riset Pew. Mereka menyatakan kesejahteraan hampir seluruh warga dunia menurun dalam satu dekade terakhir.
Gilanya lagi, data mereka menyebut 71 persen warga dunia masih menerima pendapatan di bawah rata-rata.
Data dari Oxfam dan Pam sendiri dirilis sebelum Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss digelar. Hal ini pun membuat pekerjaan rumah para pemimpin dunia yang akan bertemu di Swiss semakin berat.**