Liputan6.com, Jakarta - Dengan tetap berduka pada korban yang meninggal dan luka, kita bersyukur teror Thamrin 14 Januari 2016 tidak berlarut-larut.
Penanganan tempat kejadian perkara begitu cepat dan tidak bertele-tele. Presiden Joko Widodo bahkan langsung berkunjung ke "hotzone" kurang dari enam jam setelah kejadian, tanpa mengenakan rompi anti peluru dan dengan penuh percaya diri.
Masyarakat, terutama netizen, merespons teror Thamrin atau teror Jakarta juga dengan reaksi yang mengagetkan dunia. Tagar #KamiTidakTakut menjadi trending topic di twitter dengan cepat.
Perbincangan di sosial media tentang tukang satai yang tetap berjualan, memasang foto selfie dengan latar belakang TKP, ramai-ramai memuji polisi ganteng, menunjukkan pada masyarakat internasional bahwa aksi teror itu gagal total.
Tujuan utama teroris menyebarkan ketakutan (teror) kontradiktif. Masyarakat Indonesia justru mengolok-olok dan bersatu padu menyatakan penolakan terhadap tindakan teror dan paham yang melatarbelakangi.
Meski begitu, masih ada beberapa kalangan yang menuding bahwa aksi teroris yang menewaskan warga sipil (di antaranya kurir bank Bangkok Rais Karna dan Sugito) itu sebuah rekayasa. Tudingan itu tidak hanya menyakitkan bagi keluarga korban, namun juga menyakitkan bagi istri-istri para polisi pemberani yang mempertaruhkan nyawa di lokasi saat itu.
Dari media sosial, penulis melihat setidaknya ada tiga hal yang dipertanyakan dan menjadi bahan tudingan bahwa teror Thamrin itu rekayasa. Pertama, nama ISIS dan Bahrun Naim yang langsung disampaikan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian, saat jumpa pers di Istana Negara Kamis 14 Januari 2016 sore, 5 jam setelah kejadian.
Kedua, soal pelaku yang disebut amatir dan alat-alat penyerangan yang tidak menimbulkan daya ledakan besar (low eksplosive). Ketiga, tentang respons pemerintah yang terkesan begitu cepat dan seperti sudah siap bahwa akan terjadi serangan teror.
Baca Juga
Advertisement
Tulisan ini berupaya menjawab secara ringkas tiga hal tersebut. Pertama, tentang ISIS dan Bahrun Naim sebagai pihak yang diduga bertanggungjawab dalam teror itu. Perlu diketahui, penanganan terorisme menggunakan dua cara. Yakni olah TKP dan analisa data intelijen yang sudah dimiliki sebelumnya.
Cara pertama dan selalu digunakan adalah metode yang disebut dengan crime scene investigation. Ini identifikasi berdasarkan pelaku (atau diduga pelaku) yang tewas, bahan-bahan bom, senjata, dan benda lain yang ditemukan di lapangan.
Perlu diingat, semua pelaku wajahnya masih bisa dikenali. Bahkan, foto pelaku saat masih hidup langsung tersebar ke dunia maya hanya beberapa jam setelah serangan.
Dari foto itu, penyidik anti teror bisa mencocokkan dengan database yang sudah dimiliki. Jika ada kemiripan, lantas dikonfirmasikan ke rekan-rekan mereka yang sudah ditangkap sebelumnya, atau dikonfirmasikan ke sesama napi, jika foto itu diduga residivis.
Itulah kenapa Afif alias Sunakim, penyerang dengan pistol dari kerumunan langsung bisa diketahui namanya. Lantas, bisa dilacak apa afiliasi Afif selama di penjara dan di mana alamat terakhirnya selepas keluar dari penjara, apa nomer ponsel yang digunakan, dan siapa saja yang berinteraksi dengannya.
Karena itulah, para pelaku itu diduga mengenakan sabuk yang disebut sabuk isytihadah atau sabuk bom bunuh diri. Fungsinya untuk menghancurkan diri sendiri se hancur-hancurnya agar jaringan tidak bisa dikenali. Namun, rencana mereka gagal. Sabuk meledak tak maksimal dan wajah mereka masih utuh.
Data TKP itu lalu dipadukan dengan data intelijen yang sudah ada sebelumnya. Jangan lupa, pada 23 Desember 2015 atau sekitar tiga minggu sebelum peristiwa teror Thamrin, Densus 88 sudah menangkap Arif Hidayatulloh alias Abu Mush'ab, terduga teroris yang ditangkap di sekitar Taman Harapan Baru, Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi.
Dari penangkapan Arif, dikembangkan dan ditangkap jaringannya di Tasikmalaya dan Bandung, bahkan seorang warga Uighur juga ikut terciduk. Mereka sudah mengakui di depan penyidik bahwa didanai dan digerakkan oleh Bahrun Naim, seorang mantan napi yang sekarang diketahui bergabung dengan ISIS dan tinggal di Raqqa, Suriah.
Jadi jelas alasannya, mengapa Kapolda Metro Jaya berani menyampaikan kepada pers di Istana Negara soal ISIS dan Bahrun Naim karena didukung fakta dan data.
Kedua, soal tudingan bahan bom yang ecek-ecek dan pelaku yang amatiran. Soal bahan peledak, pemerintahan era Jokowi memang melakukan pengawasan lebih ketat terhadap bahan-bahan peledak. Itu yang membuat kelompok ini memodifikasi bahannya dengan memakai pupuk urea.
Rangkaiannya pun sederhana dan mempunyai efek mematikan karena dicampur dengan ratusan paku dan gotri. Pistol yang digunakan Afif juga sisa-sisa konflik Mindanao, yang kemungkinan besar masuk ke Indonesia melalui jalur laut dan berpindah ke Mujahidin Poso, lantas secara berantai bisa sampai pada Sunakim.
Mengapa Afif tidak berhasil menembak lebih banyak korban? Jawabnya murni karena dia memang bukan kombatan. Afif adalah pemuda biasa yang bergabung dengan pengajian Amman Abdurahman 2008, dan berlatih ala militer selama 2 bulan di Gunung Jalin Jantho Aceh pada 2010.
Dia hanya berlatih sesaat sebelum seluruh kelompok itu ditangkapi oleh polisi termasuk Afif. Dia lantas ditahan di LP Cipinang, terus mengkaji ideologi Amman (yang sekarang figur ideologi paling penting pro-ISIS di Indonesia) dan patuh pada kelompok napi Cipinang yang pro-ISIS.
Lihat saja dari foto yang beredar di media. Afif mengokang pistol dengan tangan kanan. Padahal bukan kidal, jarinya pun masuk pelatuk (sebuah hal tabu bagi penembak profesional) dan tangan kiri menahan blowback yang mengakibatkan tangan justru bergoyang (shaking).
Jika Afif adalah penembak terlatih, bisa dibayangkan berapa belas korban nyawa yang bisa melayang dalam kerumunan itu.
Pertanyaan ketiga, kenapa pemerintah bergerak begitu cepat? Silakan buka dokumentasi google. Jauh hari sebelum Natal, Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan sudah menyampaikan peringatan ada kemungkinan aksi teror mirip Prancis di Jakarta.
Kondisi ibukota juga langsung ditingkatkan siaga 1 dan dibentuk satu tim khusus untuk menjaga ring 1. AKBP Untung Sangaji, polisi heroik berbaju putih, adalah bagian dari tim yang siaga 24 jam di kawasan Bundaran HI hingga Istana.
Jadi, pemerintahan Jokowi bagi haters memang serba salah. Cepat bereaksi dianggap rekayasa, namun jika lambat bertele-tele dianggap tidak profesional dan tidak ada beda dengan pemerintahan sebelumnya.