Liputan6.com, Jakarta - Maraknya perusakan dan pencemaran lingkungan telah menyebabkan Indonesia menjadi kawasan yang sepertinya tak mungkin lolos dari permasalahan ketersediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Untuk itu PT Energy Management Indonesia (EMI), perusahaan yang bernaung di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengusulkan beberapa cara yang bisa dikembangkan untuk mengatasi krisis air bersih tersebut.
Direktur EMI, Aris Yunanto mengungkapkan, salah satu langkah untuk mengatasi krisis air bersih adalah dengan memanfaatkan air limbah sebagai sumber air bersih.
Aris mencontohkan dengan langkah kerjasama yang selama ini telah dilakukan EMI dengana sejumlah pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta. Di mana pusat perbelanjaan dimaksud menggunakan teknologi dari EMI untuk mengolah air limbah dari tenant dan pengunjung.
Alhasil, perusahaan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan internal akan air bersih, namun juga mendapatkan efisiensi sebesar 70 persen dibandingkan jika mereka membeli air bersih dari luar secara terus-menerus.
Tidak hanya itu, efisiensi cost tersebut memungkinkan nilai investasi, yang berada pada kisaran Rp 2 miliar, dimungkinkan kembali dalam waktu satu atau satu setengah tahun. Karenanya, makin banyak pula perusahaan yang berminat menerapkan teknologi serupa.
“Rencananya, tahun ini ada tujuh pusat perbelanjaan lagi yang membuka peluang bekerjasama dengan EMI untuk pengelolaan air limbah,” terang Aris dalam keterangannya, Selasa (19/1/2016).
Keberhasilan it kemudian mendorong EMI, untuk terus mengupayakan kerjasama dengan kawasan-kawasan industri untuk pengolahan air limbah kawasan dan juga pengelolaan air limbah refinery/minyak milik BUMN yang lain.
Baca Juga
Advertisement
Mengingat salah satu penyebab krisis air bersih adalah pencemaran, kata Aris, penerapan teknologi pengolahan air limbah menjadi air bersih sangat tepat. Karena teknologi tersebut bisa diterapkan bersesuaian dengan karakteristik limbah masing-masing industri yang bisa jadi berbeda-beda, pun pada air yang terkontaminasi limbah yang mengandung Bahan Kimia Berbahaya (B3).
“EMI sudah memiliki mini reactor yang bisa dicoba, bahkan sampai kondensat sekalipun; jadi air yang berasal dari pengolahan minyak, yang jelas-jelas memiliki kandungan B3, dapat kami netralkan hingga memenuhi kriteria air bersih sebelum digunakan lagi atau dibuang ke alam,” tegas Aris.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang konservasi dan konversi energi dan air, EMI berupaya menghindari penggunaan air tanah. “Dalam rangka menjaga keseimbangan air darat dengan air laut, maka kami mengharamkan penggunaan air tanah dan memilih menggunakan air permukaan baik itu air sungai, air selokan, air limbah, bahkan air laut yang diolah menjadi air bersih atau air minum yang memenuhi standar kesehatan nasional dan WHO,” ungkapnya.
Pengolahan air laut menjadi air bersih adalah juga salah satu hal yang mulai dilirik untuk diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, misalnya di Balikpapan dan Jawa Tengah.
Terkait hal itu Aris mengatakan, pengolahan air laut menjadi air bersih sangat mungkin dilakukan karena Indonesia kaya dengan potensi air laut, di samping hal itu tidak membutuhkan biaya tinggi. “EMI misalnya, hanya membutuhkan sekitar 8-9 rupiah per liter untuk mengolah air laut menjadi air bersih,” katanya.
Namun Aris mengingatkan, salah satu persoalan dari rencana tersebut adalah belum ada aturan mengenai pengelolaan air laut sebagai air baku. Karena “Semestinya pemerintah pusat, provinsi dan kota harus segera menyiapkan peraturan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Sejauh ini, kata Aris, pemanfaatan pengolahan air limbah sebagai sumber air bersih dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan internal perusahaan. Sebab pendistribusian air (ke masyarakat luar) harus dilakukan oleh BUMD, biasanya PDAM. Sehingga perusahaan tidak dapat menyalurkan air bersih hasil olahannya ke masyarakat, meskipun air tersebut sudah memenuhi standar air bersih atau air minum seperti yang diatur dalam aturan menteri kesehatan.
Menurut Aris, EMI dengan kemampuannya melakukan daur ulang air limbah menjadi air bersih dapat menjadi partner dalam menyediakan air bersih. EMI dapat membantu perusahaan (PDAM) dalam meningkatkan kapabilitas pengolahan air menjadi air bersih.
“Kalau tingkat air baku NTU (Nephelometric Turbidity Units) 1500 misalnya atau 500; kami masih bisa melakukan treatment sehingga air tersebut layak sebagai air baku (standar air baku 25 NTU). Selain itu, recycling juga bukanlah merupakan ranah PDAM,” ujarnya.
Terakhir, Aris menegaskan bahwa peluang penggunaan teknologi pengolahan air limbah menjadi air bersih sangat terbuka, mengingat permasalahan limbah perusahaan (industri) adalah masalah yang sampai kini masih dihadapi di sejumlah kawasan di Indonesia.
“Jika saja setiap perusahaan mau menerapkan teknologi pengolahan air limbah menjadi air bersih; itu bisa menjadi awal yang baik untuk mengubah keadaan (lingkungan, red) menjadi lebih baik; di samping itu, toh perusahaan akan mendapatkan keuntungan melalui efisiensi cost,” pungkas Aris. (Yas/Gdn)