Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli menyoroti permainan kotor para pedagang beras besar dalam menentukan harga beras di pasar. Hal itu tidak terlepas dari kesalahan intervensi Perum Bulog ketika menggelar Operasi Pasar (OP).
"Margin (keuntungan) di pedagang lebih tinggi dibanding petani. Ini ada yang tidak beres, karena harusnya margin petani lebih tinggi supaya ada insentif buat petani berproduksi. Ini menunjukkan sistem beras tidak kompetitif, setengah oligopolistik," tegas Rizal di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Permainan harga ini, diakui Rizal, karena kegiatan operasi pasar beras oleh Bulog justru disalurkan lewat pemain besar di perberasan. Pemain tersebut merupakan produsen atau pedagang beras besar yang sudah punya kekuatan pasar.
"Sudah punya kekuatan pasar, ditambah lagi intervensi beras dari Bulog lewat pemain besar, jadi makin seenaknya mereka menentukan harga," paparnya.
Ia menjelaskan, di tahun-tahun sebelumnya, operasi pasar Bulog selalu menyasar pedagang menengah sehingga harga beras di tingkat konsumen lebih kompetitif atau bersaing.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi jangan ke pedagang Cipinang yang besar, nanti pada cincai harga sendiri. Karena Kementerian Pertanian bilang produksi surplus tapi harga kok naik. Ini kan tata niaganya yang tidak beres karena operasi pasar Bulog lewat pedagang besar," kata Rizal.
Dengan begitu, Rizal mengaku bakal meminta Kementerian Perdagangan untuk menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) beras supaya harga beras terkendali dan menjangkau seluruh masyarakat.
Sebelumnya, Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEUI, Teguh Dartanto mengungkapkan, harga beras di Indonesia 30 hingga 50 persen lebih mahal dibanding beras Thailand dan Vietnam. Tingginya harga beras hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengorbankan masyarakat yang menjadi konsumen.
"Kalau harganya beda 20 persen sih masih tidak apa. Tapi kalau mahalnya harga beras sampai 50 persen dari Thailand dan Vietnam, itu kan bermasalah. Yang untung pedagang sama petani, tapi korbannya konsumen," tegas Teguh saat dihubungi Liputan6.com.
Penyebabnya, kata Teguh, karena pemerintah tidak punya data valid stok beras. Perum Bulog pun yang selama ini bertugas menyimpan cadangan beras dianggap kurang mengetahui persis stok beras di gudangnya di daerah.
"Stoknya berapa dan seperti apa, pemerintah maupun Bulog tidak tahu, datanya tidak valid. Karena itu, jika terjadi kemarau pangan, intervensi telat, harganya sudah naik tajam. Sedangkan pemerintah seolah-olah alergi impor karena ini menyangkut persoalan politik," jelasnya.
Untuk itu, ia menambahkan, pemerintah perlu melakukan kalibrasi data supaya ada data valid soal stok beras. Dengan begitu, pemerintah dapat menghitung kebutuhan beras setiap tahun, pendistribusiannya dan pada akhirnya dapat menjaga kestabilan harga pangan yang merupakan kunci utama menjaga daya beli masyarakat. (Fik/Gdn)