Liputan6.com, Jakarta: Lionel Messi. Hanya ada satu deskripsi: terbaik! Seperti diakui Wayne Rooney, striker timnas Inggris yang bernaung di bawah panji Manchester United, Messi memang pemain terhebat di muka bumi. Xavi Hernandez bahkan tak ragu mengklaim eks rekan seklubnya itu sebagai pemain terbesar dalam sejarah sepak bola, melebihi Pele dan Diego Maradona.
Baca Juga
- Terkuak, Rincian Transfer Gareth Bale ke Madrid
- 'Masa Depan Rossi-Lorenzo di Yamaha Ditentukan 4 Balapan'
- 'Messi Kantong Keresek' Bakal Ikuti Jejak Martunis?
Advertisement
Rooney dan Xavi mewakili pendapat umum. Mayoritas penggemar sepak bola di dunia memiliki pandangan serupa. Bila ditanya soal pemain terbaik dunia, nama Messi pastilah yang pertama kali terlintas di benak mereka.
Tak bisa dimungkiri, Messi adalah pesepak bola luar biasa. Dia merupakan gambaran sempurna seorang pesepak bola. Dia berprestasi, berpengaruh besar terhadap timnya, punya skill luar biasa, dan sangat subur. Pelbagai rekor sudah dirontokkannya.
Tak heran bila siapa pun ingin menjadi Messi. Messi adalah rujukan utama. Setiap anak-anak pasti ingin seperti La Pulga. Tak terkecuali Leroy Sane, talenta muda FC Schalke 04 yang tengah menanjak.
Setiap klub juga mendamba sosok seperti Messi. Namun, karena La Pulga hanya milik Barcelona, mereka cukup menginginkan duplikat sang bintang. Ini pula yang membuat banyak klub begitu terobsesi untuk mencari talenta belia di pelbagai pelosok dunia.
Kisah perburuan inilah yang belakangan membuat beberapa klub terjerat kasus. Dua tahun lalu, Barcelona dihukum tak boleh aktif dalam dua kali jendela transfer oleh FIFA karena terbukti melanggar aturan soal perekrutan pemain di bawah umur 18 tahun. Tahun ini, giliran Real Madrid dan Atletico Madrid yang menghadapi tuduhan serupa.
Cukup mengherankan ketika kubu Madrid menuding Bayern München sebagai pihak yang berada di balik hukuman yang dijatuhkan FIFA. Seharusnya, mereka menyalahkan Messi. Karena dialah, Madrid melanggar aturan.
Seperti tertuang dalam peraturan yang dibuat FIFA pada september 2001 dengan mengadopsi aturan International Labor Organization (ILO) soal perlindungan terhadap anak-anak dari eksploitasi, ada sejumlah klausul yang harus dipenuhi klub bila ingin merekrut pemain belia.
Salah satunya, seorang pemain belia hanya boleh pindah ke luar negeri karena mengikuti keluarganya. Itu pun kepindahan keluarganya tak boleh berkaitan dengan sepak bola.
JEMBATANI IMPIAN
Aturan tersebut tak ubahnya koreksi terhadap proses perekrutan Messi oleh Barcelona. Pada 2000, ketika Newell's Old Boys tak bisa memenuhi permintaan Jorge Messi untuk membiayai injeksi hormon pertumbuhan bagi sang anak, Blaugrana datang. Messi yang kala itu berumur 13 tahun, bersama keluarganya, diboyong ke Spanyol. Messi kemudian menjulang dan menjadi faktor utama kesuksesan Blaugrana.
Kisah sukses inilah yang menginspirasi banyak klub untuk berburu talenta belia ke hampir seluruh penjuru dunia. Cara ini dianggap lebih murah ketimbang membeli pemain yang sudah jadi. Apalagi ketika harga pemain di bursa transfer sudah tak lagi masuk akal.
Bagi sang talenta belia, tawaran bergabung dengan akademi klub ternama, apalagi La Masia milik Barcelona, adalah sebuah anugerah luar biasa. Itu tak ubahnya jembatan untuk menggapai impian. Bagaimanapun, mereka pasti bercita-cita untuk membela klub papan atas dunia dan bermain dengan pemain-pemain terbaik dunia.
Tawaran dari sebuah klub besar juga kehormatan luar biasa. Siapa pun yang mendapatkannya adalah the chosen one karena klub-klub besar itu tentu tak asal comot. Mereka pasti memiliki pertimbangan matang dan menyeleksi dengan standar tinggi.
Berada di akademi berkualitas tinggi milik klub besar, anak-anak itu punya kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kualitasnya. Skill, fisik, dan mentalitas mereka bisa berkembang jauh lebih baik ketimbang berada di klub asal.
Hubungan yang bersifat saling menguntungkan ini sempat dijadikan dalih oleh Barcelona untuk mendapatkan pengecualian. Menurut mereka, fasilitas dan kualitas akademi yang ada bisa menjamin anak-anak berkembang sesuai tuntutan dan harapan.
Oleh karena itu, La Masia dan akademi-akademi dengan kualitas bagus lain harusnya diberi kebebasan dalam menjaring anak-anak dari belahan dunia mana pun.
Masalahnya, secara kejiwaan, anak-anak di bawah umur 18 tahun masih sangat labil. Mereka butuh perlindungan ekstra. Hal terbaik bagi mereka adalah berada bersama keluarganya dan tumbuh di lingkungan yang dikenalnya.
Faktor psikologis ini juga sempat dirasakan Messi ketika sang ibu dan saudara-saudaranya kembali ke Argentina. Menurut Jorge seperti dikisahkan kepada Sport Illustrated, selama tiga tahun, Messi dan sang ibu hanya bertemu setiap empat bulan sekali.
Sering kali, Messi menghabiskan malam sendirian di La Masia ketika anak-anak lain pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan. Messi mengaku sangat sedih dan kerap disergap rindu kampung halaman. Saat harus boarding untuk kembali ke Barcelona, diakui Messi, kakinya sangat berat melangkah.
Advertisement
HARUS CUKUP MODAL
Kini, seiring keseriusan FIFA dalam menagani kasus-kasus perekrutan pemain belia, klub-klub lebih berhati-hati. Guna menghindari masalah, mereka kini cenderung cari aman dengan merekrut pemain yang sudah berumur 18 tahun. Selain itu, mereka giat mengincar pemain yang baru mencuat.
Pemain-pemain semacam ini memang lebih mahal dibanding talenta-talenta belia. Apalagi mereka yang diikat dengan buy out clause atau klausul penjualan. Namun, harga mereka tetap saja jauh lebih murah dari pemain-pemain yang sudah mapan, apalagi pemain yang berpredikat bintang.
Setiap kali ada pemain muda yang mencuat bersama klub-klub "medioker", klub-klub besar langsung menunjukkan minat. Tengok saja Sane yang belakangan ini membuat pusing Horst Heldt, Direktur Olahraga Schalke. Mulai dari Liverpool hingga Barcelona berminat memboyong pemain yang baru melakukan debut di tim senior Schalke pada April 2014 ini.
Heldt berkeras ingin mempertahankan winger yang melakukan debut di timnas Jerman saat kalah 0-2 dari Prancis pada 13 November 2015 tersebut. Namun, dia sadar, sangat sulit melakukan hal itu. Schalke dan Sane tak akan bisa menolak bila datang tawaran menggiurkan dari klub-klub teras.
Satu hal yang kerap tak disadari, terutama oleh pemain yang bersangkutan, tak jarang ini adalah jebakan. Ini pula yang coba diingatkan Christoph Metzelder saat mendengar ketertarikan klub-klub besar terhadap Sane. Menurut dia, sangat penting bagi Sane untuk memastikan diri siap bersaing terlebih dahulu.
Karena tingkat persaingan dan tuntutan di klub teras jauh lebih besar, Metzelder menilai persyaratan yang harus dimiliki pemain pun tidak mudah. Baginya, ada dua syarat mutlak. Pertama, pengalaman yang banyak bersama klub asal. Kedua, menjadi pemain inti di timnas untuk beberapa lama.
Metzelder tak salah. Cukup banyak pemain muda yang lantas jeblok dan meredup saat hengkang ke klub besar. Jikapun sempat melesat, itu hanya sesaat. Banyak mimpi yang kandas dan hilang tak berbekas karena putusan terburu-buru.
Menyangkut transfer, kepentingan karier pemain seharusnya jadi pertimbangan utama. Sayangnya, saat ini, transfer tak jarang hanya soal uang. Pemain-pemain muda cepat dilepas karena klub asalnya membutuhkan uang. Tak sedikit juga pemain muda memaksa pergi karena dibujuk agen yang mengincar komisi dari kesepakatan yang terjadi.
Itulah realitas yang ada dalam arus komersialisasi yang begitu menggebu di ranah sepak bola. Sebuah realitas yang kini kian menjadi dan sulit terbendung lagi.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.