Wakil Ketua MPR: Perlu GBHN Agar Indonesia Tidak Poco-poco

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan hampir seluruh pihak sudah menyetujui soal amandemen ini.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 22 Jan 2016, 01:57 WIB
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. (MPR RI)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diembuskan PDIP pada Rakernas I 2016 dengan nama Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan hampir seluruh pihak sudah menyetujui soal amandemen ini agar pembangunan Indonesia tidak berjalan maju mundur.

"Di dalam Rapim kami sudah sampaikan soalGBHN ini sehingga ketikaGBHN dihidupkan nanti tidak timbul kontroversi. Artinya juga akan menjadi lebih matang, maka badan dan lembaga pengkajian di MPR melakukan pengkajian-pengkajian intensif untuk mempersiapkan segala yang terkait dengan perubahanUUN untuk mengembalikanGBHN agar Indonesia tidakpoco-poco," kata Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid di Gedung DPR,Jakarta, Kamis (21/1/2016).

Poco-poco, kata Hidayat, maksudnya agar pembangunan di Indonesia tidak hanya sekadar maju mundur dan kanan kiri saja, namun agar pembangunan tidak tertinggal dari negara-negara lain.

Menurut Hidayat, hampir semua pihak sudah menyetujui soal penghidupan GBHN ini. "Amandemen UUD secara fisik agaknya pada periode ini akan terjadi lagi. Karena komponen-komponen inti di bangsa ini sudah menyampaikan persetujuannya," ucap Hidayat.

Hidayat menilai, mulai dari ormas-ormas yang ada di masyarakat bahkan sampai presiden sudah menyetujui soal penghidupan kembali GBHN. "Kalau ormas ada NU dan Muhammadiyah, ada juga forum rektor, seluruh partai politik mengatakan persetujuannya, DPD, bahkan presiden dan wakil presiden juga setuju untuk menghidupkan yang dulu namanya GBHN," jelas Hidayat.

Menurut Hidayat, baik GBHN atau Rencana Pembangunan Semesta Berencana pada zaman Bung Karno, apapun namanya tapi intinya hanya 1 yaitu dapat menghasilkan produk UU yang berbasiskan UUD dan mempunyai daya ikat lebih kuat, serta bisa melampaui periode 2 kali dari masa jabatan presiden.

Meski sekarang sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), kata Hidayat, keduanya adalah 1 produk UU yang dibuat oleh presiden terpilih berbasiskan program-program yang disampaikannya pada waktu kampanye agar dia terpilih menjadi presiden.

Tapi semua tahu, jika UUD membatasi masa jabatan presiden maksimal 2 periode dan itu berarti 10 tahun. Tentu tidak mungkin negara sebesar Indonesia hanya diprogramkan per 10 tahunan saja.

Selain itu, tak hanya presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, ada juga gubernur, bupati, dan walikota, yang kadang juga mereka terpilih sebelum presiden dipilih sehingga punya program yang sudah jadi dan kadang tidak berkaitan dengan program pemerintah.

Karena itu, sebaiknya tahun ini langsung dirumuskan saja agar bisa cepat selesai. Karena kan prosesnya dari mulai diusulkan kemudian nanti dibuat panitia adhoc yang kemudian dimulai penyusunan GBHN itu.

"Kemungkinan besar bisa sampai 2 tahun penyusunannya. Kita mengejar supaya tahun 2019 sudah bisa digunakan," ujar Hidayat.

"Paling tepat memang sekarang 2016, mungkin pertengahan tahun ini mulai bisa dikerjakan atau 2017 akhir sudah bisa disahkan. 2018 kita akan sosialisasikan dan 2019 kita sudah punya pegangan. Presiden yang akan kampanye di tahun 2019 sudah punya rujukan yang dulu bernama GBHN," papar Hidayat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya