Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, tak ada satu pun perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang proses persidangannya berlanjut. Sebanyak 26 perkara gugur oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa semua perkara itu tak ada yang memenuhi syarat selisih suara maksimal dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) dan Pasal 6 Peraturan MK (PMK) Nomor 1-5 tahun 2015.
Masih dalam pertimbangannya, 9 hakim dalam sidang pleno ini sepakat, bahwa MK tak bisa mengabaikan keberadaan 2 peraturan tersebut. Sebab, peraturan itulah aturan main dalam sebuah pertandingan olah raga. Aturan main itu yang sudah ditentukan sejak pertandingan belum dimulai. Di mana seharusnya semua pemain dan wasit sudah mengetahui aturan main tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Wasit pun harus tunduk pada aturan main tersebut," kata Hakim Konstitusi I Gde Dewa Palguna saat membacakan pertimbangan dalam putusan sela salah satu perkara PHPKada di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Palguna mengatakan, dengan menjadikan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK Nomor 1-5/2015 itu, bukan berati MK menjadi terompet dan corong undang-undang. Dia sekali lagi menggarisbawahi bahwa perlu adanyan rule of the game dalam kompetisi dan kontestasi politik seperti perkara sengketa pilkada ini.
Keberadaan peraturan itu yang mensyaratkan maksimal perbedaan suara yang didasarkan dengan jumlah penduduk masing-masing daerah adalah untuk menekan jumlah sengketa pilkada yang terdaftar. Lihat saja, bagaimana pendaftaran perkara PHPKada mencapai 147 perkara dari 132 daerah, di satu sisi 264 daerah pilkada serentak, membuktikan bahwa aturan itu tetap saja tak dapat membendung perkara-perkara yang masuk. Meski mereka sudah tahu aturan main itu.
Kata Palguna, jelas bahwa keberadaan Pasal 158 UU Pilkada itu merupakan bentuk rekayasa sosial dan sebagai upaya pembatasan jumlah perkara yang masuk dalam waktu jangka panjang. Di mana nantinya dapat membangun budaya politik yang erat kaitannya dengan kesadaran hukum yang tinggi.
Apalagi, pasangan calon di 132 daerah lain yang tidak mengajukan permohonan ke MK, besar kemungkinan sudah memiliki kesadaran dan pemahaman atas adanya ketentuan Pasal 158 UU a quo.
"Kesadaran hukum yang demikian akan terlihat yang mana selisih suara tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU a quo, pasangan gubernur, bupati, dan wali kota tidak mengajukan keberatan ke mahkamah," ujar dia.
"Hal demikian berarti rekayasa sosial UU Pilkada bekerja dengan baik, meskipun belum bisa dikatakan optimal," ucap Palguna.
Lebih jauh Palguna menjelaskan, jika MK dipaksakan untuk mengabaikan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK 1-5 tahun 2015, maka sama halnya dengan mendorong MK melakukan pelanggaran hukum. Melanggar undang-undang.
"Hal demikian tidak boleh terjadi. Karena selain bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia, juga menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan mahkamah in casu hakim konstitusi untuk melakukan tindakan yang melanggar sumpah jabatan tentang kode etik hakim konstitusi," ujar Palguna.