Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo menolak usulan Badan Intelejen Negara (BIN) yang meminta penambahan kewenangan untuk dapat melakukan penangkapan dan penahanan. Jokowi lebih menginginkan agar BIN menjalankan fungsi sebagai lembaga informan yang memberi informasi bagi lembaga penegak hukum yang melakukan penindakan.
"BIN ini kan undang-undangnya BIN. Arahan Bapak Presiden ya tetap, kalau penegakan hukum kan tetap pada polisi, BIN tidak," ujar Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, di Jakarta, Jumat, (22/1/2016).
Kendati demikian, menurut Yasonna, usulan BIN masih akan dikaji oleh pemerintah. Namun, meski dibahas tapi tak akan masuk dalam revisi Undang-Undang Terorisme.
"Artinya, kita kaji secara mendalam, tetapi tadi Pak Panglima juga mengatakan BIN adalah mata dan telinga presiden, kalau ada informasi dari BIN, serahkan ke Polri, serahkan ke Jaksa, kira-kira begitu. Karena ini kan (yang dibahas) revisi UU Terorisme, bukan revisi UU BIN," ucap Yasonna.
Baca Juga
Advertisement
Kepala BIN Sutiyoso mengaku sudah mendeteksi adanya jaringan terorisme serta aktivitasnya sejak 25 November 2015 lalu. Saat itu, sekitar 100 simpatisan ISIS pulang ke Indonesia, 423 mantan narapidana terorisme bebas, dan ada pelatihan yang diadakan oleh kelompok radikal.
Meski begitu, BIN tak bisa menangkap lantaran tugas BIN hanya sebatas menggali informasi sesuai dengan kewenangannya menurut Pasal 31 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 .
"Kejadian ini jadi pelajaran dan evaluasi semua. Karena itu perlu ada peran BIN lebih. Undang-undangnya perlu direvisi. Di mana BIN, diberi kewenangan lebih menangkap dan menahan," ujar Kepala BIN Sutiyoso di kantornya, Jakarta, Jumat 15 Januari 2016.