Liputan6.com, New York - Revolusi Prancis pada abad 18 menjadi terkenal antara lain karena maraknya pelaksaan hukuman mati terhadap Raja Louis XVI dan permaisuri Marie-Antoinette menggunakan alat pancung guillotine.
Merujuk kepada tayangan singkat History.com yang dikutip Jumat (22/1/2016), cara penghukuman itu dipandang sebagai yang paling ‘cepat’ melaksanakan tugasnya—dan dianggap paling tidak menyakitkan.
Dr. Shiya Ribowsky, mantan direktur Proyek Khusus di Medical Examiner’s Office menyetujui anggapan tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Menurutnya, guillotine diciptakan karena pemenggalan secara manual tidak konsisten. Pemenggalan manual yang dimaksud di sini adalah pemenggalan menggunakan kapak oleh seorang algojo.
Ada sejumlah kasus terkenal di mana sejumlah orang tersohor menjalani hukuman tersebut dan harus ditebas berkali-kali sebelum akhirnya memenggal leher korban.
"Jadi, guillotine diciptakan sebagai upaya—istilah halusnya—pemenggalan dipandang menjadi lebih manusiawi,” katanya.
Alat guillotine pada dasarnya adalah silet raksasa terbingkai. Korbannya ditempatkan tepat di bawah pisau, umumnya berada di atas bongkahan kayu atau sejenisnya.
Silet dirancang memiliki sudut agar dapat dengan mudah menembus kulit, otot, dan tulang leher. Silet itu bisa menebas leher hanya dalam waktu 1/100 detik sehingga memberikan kematian segera dan tanpa merasakan kesakitan.
Perjalanan menaiki panggung hukuman dan penempatan kepala di atas bongkahan kayu sebelum pemenggalan memang mengerikan dan merupakan pengalaman yang sangat mengerikan.
Namun, pelaksanaan pencabutan nyawanya itu sendiri lebih cepat dan tanpa rasa sakit.
Kesadaran setelah terpenggal
Salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan terkait dengan hukuman guillotine adalah tentang kesadaran yang berlanjut di dalam otak setelah kepala korban terpenggal dari tubuh.
Dr. Shiya Ribowsky mengatakan, “ilmu syaraf menyebutkan bahwa otak memiliki 5,6, atau bahkan 7 detik cadangan tenaga untuk terus melakukan metabolisme usai pasokan darah terhenti.”
Jika ada yang ingin menelitinya, ia mengusulkan agar penelitin untuk berkomunikasi dengan korban setelah dipenggal.
"Angkat kepalanya segera setelah terputus dari tubuh, tatap matanya, dan katakan, ‘Berkediplah sekali untuk menjawab ya, dan dua kali untuk tidak,’” katanya.
Apapun jawabnya, hal itu menunjukkan adanya kesadaran (siuman).
Namun, sepertinya hal itu tidak bisa diteliti secara formal di AS dalam waktu dekat ini. Menjadikan teori tersebut hanya sebagai dugaan semata.
Advertisement