Liputan6.com, Jakarta - Setelah polisi, kini tentara diduga menjadi target serangan teroris selanjutnya. Prediksi ini berdasarkan data Pusat Kajian Keamanan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan analisa pola serangan teror di berbagai belahan dunia, selama puluhan tahun belakangan.
"Kita tak menakut-nakuti atau pun berasumsi asal-asalan. Jika melihat pola serangan teror sejak awal 2000-an, tentara adalah target selanjutnya," ujar Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Profesor Hermawan Sulistyo, dalam sebuah diskusi di Widya Graha LIPI, Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Dia menjelaskan, pola tersebut berdasarkan rentetan teror yang pernah terjadi. Mulai dari pelaku, bahan yang digunakan, senjata, hingga target serangan.
"Yang awal itu serangan di tempat terbuka, masih ingatkan bom di lapangan parkir? Lalu targetnya berlanjut ke tempat hiburan dan keramaian, bom Bali," kata Hermawan.
"Setelah itu, target beralih ke bangunan vital, bom Marriot dan Mapolresta Cirebon, dan terakhir sengaja menyerang polisi di Thamrim," sambung profesor yang akrab disapa Kiki.
Tapi, kenapa ada korban sipil dalam teror Thamrin? Menurut dia, karena keingintahuan dan kenekatan orang Indonesia menonton peristiwa menggemparkan itu.
"Kita menyayangkan ada yang kena tembak kepalanya. Ya wajar lah, ia berada dekat dengan polisi yang sudah jadi target mereka," jelas Hermawan.
Persoalan menjadi beda untuk AKBP Untung Sangaji. Ia luput dari target, sebab memakai baju putih, bukan berseragam polisi.
"Untung dan Tamat luput dari target. Mereka tak tahu jika yang berbaju putih itu adalah tim khusus antiteror," tegas Kiki.
Hermawan menegaskan, eskalasi serangan selanjutnya menurut pola serangan dan analisa dari database yang ada, tentara menjadi objek serangan teror.
"Ini bukan prediksi abal-abal, namun data kita dan pola di seluruh belahan dunia memang seperti itu," tandas Kiki.
Baca Juga
Advertisement
Pesantren Butuh Perhatian
Hermawan juga menilai, pesantren bukanlah sarang teroris. Sebab, para teroris umumnya mereka yang baru mengenal agama dan ideologi.
"Para pelaku ini kebanyakan orang-orang yang baru mengenal agama dan ideologi, yang kebetulan Islam jadi agama dan ideologi yang mayoritas di Indonesia," ujar dia.
Namun, Hermawan tak menampik, jika pesantren bisa menjadi cikal bakal para teroris. Apalagi, perlakuan diskriminasi di pemerintahan dan label dari masyarakat.
"Saya juga pengurus pesantren. Sekarang Anda bayangkan, berapa juta orang lulusan pesantren yang mengalami diskriminasi. Untuk ijazah saja mereka banyak yang tak diakui," kata dia.
"Apalagi mereka sering dikaitkan dengan terorisme. Ini yang jadi cikal bakalnya, apalagi pemberitaan media," tegas Hermawan.
Dia menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan pesantren. Tapi bukan hanya dengan cara memberi bantuan uang.
"Mereka butuh penghargaan, mereka butuh perhatian, bukan uang. Jika tidak, ya makin banyak lah calon teroris. Sebab mereka merasa asing dan marah pada negeri ini," tegas Hermawan.
Sejauh ini pelaku rata-rata adalah orang yang baru nyantri. Namun, dari catatan Pusat Kajian Keamanan Nasional, para pelaku bukan hanya karena motif jihad dan ideologi, tapi faktor ekonomi turut berpengaruh.
"Sampai saat ini pelaku teror semuanya berekonomi lemah. Nah, untuk pelaku di Thamrin ini sama, bedanya mereka di-support dana yang luar biasa banyak dari ISIS," kata dia.
Dari data yang ada, menurut Hermawan, ISIS mentransfer lebih dari Rp 70 juta kepada terduga teroris Thamrin. Teror dari ISIS ini semakin mudah, sebab Afif adalah resedivis.
"Ya wajarlah mereka meneror, uang kiriman ISIS saja sampai Rp 70 juta untuk 1 kali kiriman, apalagi Afif sudah diintai sejak awal," ungkap dia.
Hermawan tak sependapat, jika Afif disebut berniat melakukan bom bunuh diri. Hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan polisi, bom-bom yang dipakai dirancang bukan untuk bunuh diri.
Ledakan bom dan penembakan di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari lalu memakan 35 korban. 7 Di antaranya meninggal di tempat, 1 di rumah sakit dan 27 lainnya mengalami luka.
Di antara korban luka, 20 di antaranya menjalani rawat jalan dan 7 lainnya perawatan di rumah sakit. Di antara korban menjalani perawatan di rumah sakit, 2 di antaranya masih di ICU karena mengalami luka serius akibat tembakan dan ledakan bom, yakni Aiptu Budiono dan Aiptu Deni.