Harga Minyak Melonjak 9% ke US$ 32 per Barel

Harga minyak mencatatkan rekor reli pada perdagangan Jumat pekan ini.

oleh Arthur Gideon diperbarui 23 Jan 2016, 05:17 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, New York - Harga minyak mencatatkan rekor reli pada perdagangan Jumat pekan ini. Jika dihitung, harga minyak mengalami lonjakan terbesar dalam 7 tahun terakhir setelah merosot ke level terendah dalam 12 tahun terakhir.

Mengutip Bloomberg, Sabtu (23/1/2016), harga minyak untuk West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret naik US$ 2,66 atau 9 persen menuju US$ 32,19 per barel di New York Mercantile Exchange.

Harga minyak jenis ini membukukan kenaikan 21 persen dalam dua hari terakhir yang merupakan keuntungan terbesar yang pernah dicetak sejak September 2008 lalu. Volume perdagangan minyak berjangka ini mencapai 36 persen di atas rata-rata dalam 100 hari terakhir.

Sedangkan untuk harga minyak Brent yang menjadi patokan harga dunia, untuk pengiriman Maret, naik US$ 2,93 per barel atau 10 persen ke lebel US$ 32,18 per barel di London Berbasis ICE Futures Europe Exchange.

Sejak awal tahun harga minyak telah mengalami penurunan kurang lebih 25 persen. jika dihitung dalam 18 bulan terakhir, harga minyak telah turun dari kisaran US$ 110 per barel menuju US$ 30 per barel.

Penurunan tersebut disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, karena permintaan melemah. Beberapa negara sebagai pengguna utama minyak mengalami perlambatan ekonomi.

Kedua, negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC tidak mau mengurangi produksi meskipun terjadi penurunan permintaan yang mengakibatkan pasokan yang ada berlebihan.

"Harga minyak kembali reli karena dipengarungi masuknya musim dingin," jelas James Cordier, Pendiri Optionsellers.com Tampa, Florida, AS. Namun reli yang terjadi kali ini lebih ke reli jangka pendek dan menurutnya ke depannya harga minyak masih bisa melemah lagi.

Ivan Szpakowski, Analis Citigroup mengatakan bahwa kemungkinan besar pada beberapa pekan ke depan harga minyak akan kembali terguncang. Penyebabnya adalah adanya tambahan pasokan dari Iran setelah negara tersebut terbebas dari embargo dari negara-negara barat. "Namun setelah itu akan kembali normal," tuturnya. (Gdn/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya