Liputan6.com, Surabaya - Bocah balita berkaus dan celana warna kuning itu tampak riang. Sesekali ia bercanda dengan bocah sebayanya dan kemudian berlari kecil di salah satu dari 4 tenda penampungan yang berdiri di halaman Asrama Transito milik Kantor Dinas Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur.
Keriangan bocah ini kontras dengan suasana penuh kelelahan yang terlihat dari wajah ratusan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) asal Jawa Timur yang dipulangkan dari Kalimantan Barat. Mereka baru tiba di Asrama Transito yang terletak di Jalan Margorejo No 74, Kota Surabaya, Sabtu pagi 23 Januari 2016.
Wajah bercampur lelah pun terpancar dari Suharijono. Pria berusia 55 tahun ini adalah ayah dari salah seorang mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang dinyatakan bergabung dengan Gafatar setelah dinyatakan hilang sejak 17 Agustus 2015.
Baca Juga
Advertisement
Saat ditemui Liputan6.com di halaman aula Asrama Transito, Surabaya, Sabtu 23 Januari 2016, Suharijono mengaku masih berupaya mencari putra keduanya tersebut. Ia berbekal secarik kertas daftar nama 315 warga Jawa Timur yang bergabung dengan Gafatar.
"Jika memang hari ini saya tak menemukan anak saya, setelah saya meminta bantuan kepada aparat dan juga wagub saya akan optimalkan diri saya mencarinya sendiri," tutur warga Kompleks Perumahan TNI AL, Kenjeran, Surabaya itu.
Penantian Suharijono turut dirasakan banyak keluarga dari ribuan mantan anggota Gafatar yang dipulangkan dari Kalimantan. Para eks anggota Gafatar itu terpaksa mengungsi setelah massa membakar puluhan barak yang mereka huni selama sekitar 2 bulan di Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa sore 19 Januari 2016.
Mereka kemudian diungsikan ke markas perbekalan Kodam 12 Tanjungpura. Dan tak kurang dari 1.119 jiwa yang sekitar 400 di antaranya anak-anak harus diungsikan. Selain di Kodam 12 Tanjungpura, pengungsi Gafatar juga ditampung di 5 lokasi lain di Pontianak, Kalimantan Barat.
Penyambutan para mantan anggota Gafatar pun disiapkan di beberapa daerah, terutama di Pulau Jawa. Misalnya, Surabaya, Gresik, Solo, Cirebon, dan Bogor.
Di Surabaya, misalnya. Selama 3 hari 2 malam, Asrama Transito Dinas Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur di Jalan Margorejo No 74, Surabaya akan dipadati ratusan mantan anggota Gafatar asal Jatim yang dipulangkan.
Gubernur Soekarwo pun menyempatkan diri menemui ratusan warga Jawa Timur eks Gafatar yang tiba di Asrama Transito Dinas Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur di Jalan Margorejo 74.
Kepada mereka, Gubernur Jatim yang karib disapa Pakdhe Karwo ini meminta seluruh warga eks Gafatar untuk beristirahat sejenak, sambil menunggu pemerintah provinsi dan daerah mencari solusi.
"Ikhlaskan semuanya kepada Allah, kita semuanya harus selalu bersabar, serta yang paling penting adalah merenunglah kenapa kita seperti ini," kata dia di hadapan ratusan anggota eks Gafatar asal Jawa Timur, Sabtu 23 Januari 2016.
Dia mengatakan, yang penting saat ini bagaimana warga eks Gafatar bisa kembali hidup normal di masyarakat. "Yang jelas, aparat kepolisian dan TNI akan membantu kalian semuanya," tegas Pakdhe Karwo.
Dia juga meminta warga untuk tidak larut dalam kesedihan. "Karena pemerintah saat ini sedang mencari jalan keluar untuk kebaikan semuanya. Saya lihat perangainya sedih semuanya, tapi yakinlah bahwa pemerintah akan membantu," tegas Pakdhe Karwo.
Awal Kegemparan
Kisruh masalah Gafatar berawal dari laporan kehilangan anggota keluarga oleh warga di sejumlah daerah. Laporan kehilangan semakin hari bahkan semakin banyak.
Dari upaya pencarian polisi, diketahui sebagian dari mereka yang hilang ternyata berada di Kalimantan untuk bergabung dengan organisasi Gafatar secara sukarela, namun dengan cara meninggalkan keluarganya dan menjual harta bendanya.
Organisasi Gafatar didirikan pada 2012 dan sudah menyebar di berbagai daerah di Tanah Air. Organisasi kemasyarakatan ini mengklaim berasaskan Pancasila. Gafatar dideklarasikan oleh 14 DPD di 14 Provinsi, dan telah memiliki pengurus di 34 provinsi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat bahkan mencatat selain Gafatar terdapat 143 kelompok lain yang disinyalir menyimpang alias sesat.
"Kalau menghitung ada 144 kelompok (termasuk Gafatar) di Jabar. Jadi yang mirip seperti itu ada 143 dan masih eksis sampai saat ini. Tapi ada belasan aliran serupa juga dan masih diteliti," kata Sekretaris Umum MUI Jabar, Rafani Achyar di Bandung, Sabtu (23/1/2016).
Rafani menjelaskan, dari hasil temuannya, kebanyakan kelompok ini menyatukan pemahaman beberapa ajaran agama seperti Islam, Kristen dan Hindu.
Pelanggaran HAM?
Sementara itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pihak kepolisian untuk mengusut insiden pembakaran puluhan barak yang dihuni eks anggota Gafatar, di Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa 19 Januari 2016. Menurut Ketua Komnas HAM Nur Kholis, aksi perusakan tersebut tidak bisa ditolerir dan termasuk kriminal.
"Kita desak agar segera diumumkan siapa yang melakukan penyerangan. Tidak sebatas itu, diungkap apakah ada aktor lebih kuat," tegas Nur Kholis dalam diskusi 'Astaga Gafatar', di Jakarta, Sabtu 23 Januari 2016.
"Harus diusut kenapa tiba-tiba ada penyerangan terhadap Gafatar. Ini kan inhuman, tidak manusiawi, kita pertontonkan kekerasan, ada anak-anak pula di situ," dia menambahkan.
Di tempat sama, Wakil Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tidak Kekerasan (KontraS) Puri Putri Kencana menilai, ada kejanggalan dalam peristiwa pembakaran kamp Gafatar Selasa lalu.
"Tidak ada pencegahan atas aksi pembakaran yang terjadi di Menpawah kemarin," kata Puri.
Anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan mengonfirmasi persoalan tersebut kepada Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Senin 25 Januari 2016.
"Kita Senin besok akan rencanakan panggil dan sudah terjadwal untuk Rapat Kerja dengan Kapolri. Di dalam itu akan kita tanya soal persoalan Gafatar," ujar Taufiq.
Komisi III, kata Taufiq, ingin mengetahui peran polisi dalam mengantisipasi hal tersebut.
Langkah Pemerintah
Sejatinya, pemerintah memiliki rencana agar eks Gafatar tersebut mau dikembalikan ke daerah asal. Selain itu, pemerintah juga berharap agar pihak keluarga mau menerima anggota keluarganya tersebut.
"Memang banyak konsep. Pertama, kalau dia bisa kembali ke keluarga dan keluarga menerima, maka itu akan jauh lebih cepat bagi mereka (eks Gafatar) untuk recovery-nya," ungkap PLT Dirjen Perlindungan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Andi ZA Dulung di Gedung Kemenko PMK), Jakarta, Jumat 22 Januari 2016.
Sebelum mengembalikan eks Gafatar ke rumahnya, pemerintah dibantu dengan pihak kepolisian akan mencari tahu dan berusaha mendatangi pihak keluarga yang bersangkutan.
Jika keluarga mau menerima anggota keluarganya eks Gafatar tersebut, kata Andi, itu sudah sangat bagus. Karena dari segi psikologi eks Gafatar tersebut akan lebih kuat dalam arti dia tidak malu. Namun jika pihak keluarga tak mau menerima, maka itu akan menjadi masalah baru.
Masih kata Andi, yang namanya ideologi itu tidak bisa dalam semalam diberi tahu lalu orang itu akan berubah. Dan di situlah peran dari Kementerian Agama.
"Dari segi pendidikan, Kementerian Agama akan mengupayakan agar eks Gafatar mau dimasukkan ke madrasah untuk mengembalikan ideologi mereka. Kalau mereka sudah mau nerima (masuk madrasah) misalnya, itu sudah langkah yang bagus," ujar Andi.
Oleh karena itu, Andi meminta bagi keluarga eks Gafatar agar mau menerima anggota keluarganya itu. Dan Andi menegaskan jika peran Kemensos di sini adalah memastikan agar tidak ada orang yang terlantar.