Liputan6.com, Jakarta Liburan akhir tahun telah lama usai. Saatnya kembali ke realitas termasuk membayar semua tagihan kartu kredit. Dan saya yakin banyak di antara kita yang hingga kini belum juga lunas, setelah dipakai makan enak dan berbelanja sepuasnya. Termasuk saya.
Sebenarnya, merupakan 'kesalahan' besar apabila Anda memilih liburan di akhir tahun. Tiket pesawat lebih mahal dan kebanyakan kota besar di dunia menggelar diskon akhir tahun yang gila-gilaan. Sehingga siapapun yang tadinya tidak niat belanja akan tergoda untuk membeli. Termasuk saya, yang berakhir dengan enam pasang sepatu.
Bagaimana pun, liburan akhir tahun memang selalu diminati dan menjadi ajang untuk saling titip menitip bagi yang tidak bepergian. Selama puluhan tahun traveling, saya sudah lumayan banyak pengalaman menerima titipan. Jenisnya beragam, mulai dari paling kecil seperti lipstik, bedak hingga baju, buku, telepon genggam dan bahkan kamera.
Meskipun secara pribadi, saya bukan tipe yang terbiasa menitip kepada orang lain. Karena menurut pandangan saya, liburan adalah waktu untuk relaksasi diri tanpa ada gangguan pikiran lain. Sekalipun saya selalu senang membelikan aneka titipan karena pada dasarnya saya doyan belanja, dan merasa paling tahu apa yang cocok dipakai oleh orang itu dan mana yang tidak. Asalkan, ada etikanya.
Etika? Ya, menitip juga harus ada etikanya, karena ini merupakan bagian dari hubungan kita dengan manusia lain. Pernah dalam suatu perjalanan ke Eropa, seorang teman lewat Whatsapp menitip gelang yang sedang hit di kalangan sosialita, meskipun menurut saya modelnya kurang baik.
Dia minta dibelikan dulu dan dibayar setelah saya pulang. Harga gelang lebih dari US$ 500. Nah, kalau saya konglomerat saya bisa saja membelikannya dengan gampang, tapi tidak dengan liburan saya yang ada perhitungan budget. Berhubung saya merasa nggak enak, jadi ya sudah saya akan kembali lagi ke toko tersebut untuk membelinya.
Saat saya menuju toko, saya kontak dia lagi untuk konfirmasi warna gelang. Ternyata dia membuat saya terkejut. "Nggak usah Sar, saya udah titip sama teman lain yang juga lagi di Eropa". Tentu saja saya terkejut, karena usaha dan waktu yang saya buang untuk kembali lagi ke toko itu, di sela jadwal kunjungan ke museum-museum yang jauh lebih bermakna dalam hidup saya, jadi cuma-cuma. Tidak hanya itu, coba bayangkan kalau saya sudah membeli gelang tersebut, mau di kemanakan?
Baca Juga
Advertisement
Saya tidak bermaksud pamrih, tapi lebih baik kita berpikir berulang kali kalau ingin menitip sesuatu kepada teman atau saudara yang hendak traveling.
Pertama, pikirkan kedekatan Anda dengan si pembawa barang. Ini bukan persoalan saudara atau teman. Saudara pun ada yang jarang kita kontak melalui telepon atau bertemu secara langsung. Teman pun juga ada kadar kuantitas pertemuannya. Apabila Anda hanya kontak dengan saudara atau teman tersebut dua atau tiga bulan sekali, lupakan ide menitip pada mereka.
Untuk isu ini sebenarnya saya agak 'menyalahkan' semua media sosial yang membuat kita menjadi percaya diri berlebihan, dan menganggap semua orang itu adalah teman dan saudara. Terutama media sosial Path.
Pertemanan di Path awalnya hanya dibatasi hingga 150 orang, kemudian ditambah menjadi 500. Tak heran kalau banyak yang merasa kenal atau dekat dengan orang lain, hanya karena setiap hari melihat unggahan foto di negara mana pun, sehingga tergoda untuk menitip.
Seperti pengalaman saya bingung menerima titipan sepatu dengan merek khusus, karena dia tahu saya lagi liburan dari akun media sosial saya. Sepatu tersebut hanya tersedia di lokasi tertentu dan dia meneror saya tiap hari menanyakan apakah saya sudah membelikan atau belum.
Apakah dia tidak berpikir secara geografis, adanya kemungkinan hotel tempat saya menginap tidak dekat dengan lokasi toko dan saya tidak akan pernah melewati area itu karena memang daftar kunjungan saya tidak ke area tersebut? Apakah saya harus bersusah payah mencari waktu luang untuk membelikan titipan seseorang yang mengetahui saya lagi liburan hanya karena saya posting foto?
Kedua, periksa dulu apakah teman kita itu traveling untuk bekerja atau bersenang-senang. Apabila kerabat kita ini pergi untuk acara kantor dan dinas, apakah tega untuk menyuruh dia mencari barang yang kita inginkan? Apalagi kalau kita kemudian melontarkan pertanyaan yang membingungkan, seperti: "menurutmu yang mana ya yang paling bagus untuk aku?"
Ketiga, dengan siapa dia pergi. Masa sih kita tega menyuruh teman kita yang traveling sekeluarga? Apalagi bila dengan segerombolan anak-anak, bayangkan kalau anaknya ada 4. Sudah sibuk mengurus makanan anak-anak dan rombongannya, kemudian harus memikirkan barang orang lain pula.
Keempat, apabila ingin menitip, lebih baik titipkan juga uangnya sekalian. Apalagi bila Anda tahu barang yang akan dibeli harganya mahal. Agak terlalu semena-mena sebenarnya apabila kita minta dibelikan barang seharga di atas Rp 2 juta tanpa memberikan uang terlebih dahulu.
Saya juga bingung dengan orang yang menitip barang sekoper. Ya, satu koper berisi barang titipan. Ini kisah nyata yang ironis dan saya alami.
Alkisah saya bepergian ke sebuah kota trendi di Asia dan dipersilakan menginap di rumah seorang kenalan, mereka ingin menitip satu koper untuk dibawa pulang ke Jakarta. Saya sanggupi karena saya nebeng di rumahnya bukan? Sudah nasib, sewaktu check-in di bandara, ternyata koper tersebut over weight!
Perdebatan antara suami istri saat liburan pun dimulai. Saya memberi ide kepada suami untuk memindahkan sebagian barang dari koper tersebut masuk ke dalam koper kami agar timbangannya tetap seimbang, sehingga tidak perlu membayar.
Setelah 10 menit berdebat dengan suami, saya tidak mau susah payah membongkar barang di depan counter check-in, sehingga kami terpaksa membayar over weight koper titipan tersebut dengan biaya yang sebenarnya bisa untuk budget menginap per malam di hotel bintang 5 termasuk budget dua hari makan.
Boleh saja kita menitip barang yang diinginkan. Apalagi kalau kita sudah riset barang tersebut lebih mahal di Indonesia. Bukankah itu kebanyakan dari tujuan kita menitip? Agar mendapatkan harga lebih murah? Tapi harus tahu diri. Logikanya sederhana, apabila Anda bukan orang yang gemar dengan kerepotan, pasti Anda juga tidak akan merepotkan orang lain.