Liputan6.com, Jakarta Aktor ganteng Hengky Kurniawan sempat mengadu ke DPR karena menganggap industri perfilman tak mendapat dukungan. Hal ini lantas membuat anggota DPR yang juga artis Krisna Mukti memberikan komentarnya.
Menurutnya, para sineas jangan hanya mengeluh. Namun mereka meminta agar sineas membuktikan diri melalui karya terbaik, bukan menyalahkan pihak lain jika filmnya tidak diminati penonton. "Sineas juga jangan cengeng. Jangan apa-apa mengeluh," ujar anggota Komisi X DPR ini kepada wartawan, Selasa (26/1/2016).
Pernyataan Krisna itu menjawab keluhan produser film muda nasional yang merasa gelisah dengan terbatasnya waktu tayang di layar lebar bagi film-film nasional. Sebelumnya Hengky memang menyebut film nasional harusnya diberi waktu tayang minimal dua minggu, seperti di Malaysia. Untuk itu, Hengky meminta pemerintah mengeluarkan regulasi yang memihak insan perfilman tanah air bisa terus memproduksi film.
Ironisnya, regulasi perfilman di Malaysia yang menjadi rujukan Hengky, ternyata diakui telah gagal. Akibatnya, negeri jiran pun berencana mengubah aturan tersebut.
Kegagalan itu disampaikan Direktur Jenderal National Film Development Corporation (Finas) Datuk Kamil Othman. Seperti dilansir therakyatpost.com, Kamil mengatakan, pada tahun 2013 misalnya, 67% film lokal yang menerapkan skim wajib tayang, ternyata tidak mencapai target yang ditetapkan Finas.
Menurut Kamil, dalam skim yang diberlakukan sejak 1991 tersebut, film-film produksi lokal harus diberikan skim wajib tayang tanpa mengevaluasi kualitas film. Nyatanya, banyak film yang akhirnya hanya mampu menarik penonton hanya selama 2-3 hari.
Ketua Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) Chand Parwez mengatakan, bahaya besar bagi perfilman Tanah Air jika memberlakukan aturan mengenai batasan jumlah minimal layar untuk film nasional. Bahkan Malaysia berencana mengubah aturan sejenis, karena ternyata sangat merugikan.
Baca Juga
Advertisement
Parwez menambahkan, aturan yang diusulkan Hengky bisa menghancurkan industri film Tanah Air. Sineas tidak terlecut membuat film bagus, penonton tidak mau datang, tetapi bioskop harus memberikan layar bagi film yang tidak berkualitas. "Bahaya besar jika itu terjadi di Indonesia. Bukan itu yang kita mau. Yang kita mau adalah, buatlah film yang bagus, karena ada supply yakni bioskop dan demand yakni penonton," lanjut Parwez.
Chand Parwez mengingatkan para produser untuk meningkatkan kualitas film yang dibuat. Karena dengan film berkualitas, penonton akan datang sehingga pengusaha bioskop juga akan memberikan layar yang lebih banyak. "Makanya kurang tepat, jika ada produser yang mengeluh karena filmnya tidak mendapat layar. Mereka harus introspeksi mengenai mutu film yang dibuatnya," kata Parwez.
Dalam kacamata Parwez, sineas sebenarnya memang tidak perlu menuntut jumlah layar. Sebab, secara otomatis jumlah layar tersebut akan ditambah, jika film yang ditayangkan memang bagus. Buat apa mendapat layar banyak, tetapi tidak ada yang menonton.
"Jadi lebih baik mana, ditonton 10.000 orang dengan 100 layar atau 10.000 orang dengan hanya 10 layar? Tentu lebih baik yang hanya 10 layar. Apalagi, kalau ditambah layar pun jumlah penonton tidak banyak meningkat," ujar Parwez.
Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmodjo mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dengan kebijakan proteksi film nasional. Bisa jadi, kebijakan tersebut justru akan merugikan dan menghancurkan perfilman Tanah Air. Menurut Kemala, dalam mengeluarkan regulasi, pemerintah tidak bisa mengeluarkan aturan yang hanya menguntungkan satu pihak namun merugikan pihak lain. Karena sebagai regulator, pemerintah memang harus berdiri di tengah dan hanya mengatur hal-hal yang penting.
Hal senada diungkapkan aktor senior Gusti Randa. Menurutnya, jika para sineas ingin mendapat layar yang banyak, maka harus membuat film yang laku dan bermutu. Dengan begitu, lanjutnya, maka penonton akan datang dengan sendirinya dan pengusaha bioskop akan memberikan layar yang lebih banyak.
Menurut Gusti, jika dipaksakan memberikan layar banyak kepada film-film yang tidak laku dan bemutu, maka akan sangat merugikan pengusaha bioskop. Dan jika di hilir rugi, maka akan merugikan pula para sineas sebagai industri hulu perfilman.
"Jadi jangan memaksakan membuat film yang secara kuantitas besar, namun tidak berkualitas dan tidak diminati. Percuma saja. Karena tahun pertama bisa membuat film, tahun berikut bisa bangkut," ungkapnya.