Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan terus memacu pembangunan proyek infrastruktur meskipun konsekuensinya dengan utang.
Namun pemerintah konsisten menjalankan kebijakan deregulasi demi mendorong investasi domestik maupun asing sehingga ada aliran modal besar masuk ke Indonesia guna membiayai proyek-proyek strategis.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengaku, pemerintah telah melakukan reformasi fiskal sejak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sehingga belanja pemerintah diarahkan untuk kegiatan produktif dari sebelumnya bersifat konsumtif.
"Dengan belanja produktif, kita juga terus menggaet investasi, menarik devisa sebanyak-banyaknya melalui program infrastruktur," tegasnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (27/1/2016).
Mantan Anggota Komisi XI DPR ini menyadari akan ada perubahan terhadap asumsi makro dan pendapatan negara di APBN 2016 sehingga berpengaruh terhadap rasionalisasi belanja negara secara keseluruhan.
Arif memastikan, belanja tersebut akan diarahkan untuk bersifat produktif, seperti pembangunan infrastruktur dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat dan meningkatkan daya saing. "Yang pasti insentif tetap diberikan, kebijakan fiskal kita tetap ekspansif," jelasnya.
Itu artinya, kata dia, pemerintah tidak akan mengerem pembangunan proyek infrastruktur walaupun harus berutang melalui penerbitan surat utang maupun pinjaman bilateral dan multilateral. Itu karena utang pemerintah digunakan untuk kepentingan rakyat.
"Selama utang digunakan untuk produktif, jadi jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, sekolah supaya anak-anak Indonesia pintar, tentu ada return of investment buat kita. Pada waktunya nanti manfaatnya akan kembali ke kita demi kemajuan bangsa Indonesia," kata Arif.
Baca Juga
Advertisement
Sebelumnya, Dirjen PPR Kemenkeu, Robert Pakpahan mengungkapkan, posisi outstanding utang pemerintah tahun lalu sebesar Rp 3.089 triliun. Ini merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 17 tahun terakhir. Penambahan utang dari periode 2014 yang sebesar Rp 2.608,8 triliun untuk membiayai defisit anggaran dari Rp 222,5 triliun menjadi Rp 318,5 triliun.
"Yang penting kan utang digunakan untuk produktif, beda dengan dulu yang konsumtif seperti belanja subsidi, tapi sekarang sudah berkurang banyak. Saat ini banyak dipakai untuk belanja modal," kata Robert.
Dari data Kemenkeu, realisasi belanja modal mencapai Rp 213,3 triliun atau tumbuh sekitar 45 persen dibanding pencapaian 2014. Sementara total belanja kementerian/lembaga pada tahun lalu naik signifikan menjadi Rp 724,3 triliun dibanding Rp 577,2 triliun di periode 2014.
"Realisasi belanja modal Rp 213,3 triliun belum pernah ada selama ini," tegas Robert.
Lebih jauh, ia menjelaskan, posisi utang pemerintah Rp 3.089 triliun setara dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 27 persen. Robert mengklaim, rasio tersebut masih sangat aman bagi Indonesia mengingat ambang batas toleransi sebesar 60 persen terhadap PDB, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ia mengakui, utang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang, bahkan negara maju sekalipun, termasuk Indonesia. Asalkan rasio utang dan defisit anggaran tidak melanggar UU Keuangan Negara dan digunakan semaksimal mungkin untuk kegiatan produktif, seperti belanja modal.
"Dari sisi kapasitas, belum ada kekhawatiran, rasio utang sangat aman. Semua negara berkembang dan maju yang over infrastruktur pun masih berutang. Malah ada yang bilang harusnya kita utang lebih banyak sepanjang dipakai untuk hal produktif. Jadi ini bukan waktunya berhenti ngutang, asal ngutang langsung bangun-bangun (proyek)," terang Robert.
Dari sisi kemampuan pembayaran, dirinya mengaku, Indonesia sangat mempunyai kesanggupan itu. Ini tecermin dari rata-rata jatuh tempo utang yang cukup panjang 9,7 tahun.
Itu dinilai Robert sebagai jangka waktu aman. Robert menghitung jika total utang pemerintah Rp 3.089 triliun dibagi rata-rata jatuh tempo utang 10 tahun, maka kewajiban pembayaran utang Rp 300 triliun per tahun.
"Dengan pendapatan negara yang hampir mendekati Rp 2.000 triliun, maka nilai Rp 300 triliun itu bisa di-handle atau kita masih mampu bayar sekalipun kita berhenti ngutang," tandas Robert. (Fik/Ndw)