Pengacara Minta Ford Lapor ke Pemerintah Demi Ketenangan Konsumen

David Tobing, pengacara, anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI, sekaligus pemilik Ford Everest, meminta Ford lapor ke pemerintah.

oleh Rio Apinino diperbarui 27 Jan 2016, 11:15 WIB
Aktivitas di salah satu dealer mobil Ford di Jakarta, Selasa (26/1). Ford memastikan para konsumen dapat tetap mengunjungi dealer Ford untuk layanan penjualan, servis, dan garansi hingga beberapa waktu ke depan di tahun ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Berhenti beroperasinya PT Ford Motor Indonesia (FMI) tentu menimbulkan kekecewaan dari pihak konsumen. Salah satunya adalah David Tobing, pengacara sekaligus anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI yang telah memiliki Ford Everest sejak 2006.

"Sebagai konsumen saya kecewa dengan keputusan ini. Saya kecewa dengan cara mereka (FMI). Harusnya keputusan ini tidak boleh seketika, harus ada gradasinya," ujar David kepada Liputan6.com, Rabu (27/1/2016).

Menurut David, apa yang dilakukan FMI bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan saat pertama kali masuk ke pasar Tanah Air, 2002 lalu. Saat itu, mereka membuat surat pernyataan jaminan yang berisi kesanggupan untuk menyediakan fasilitas perawatan perbaikan dan suku cadang.

"Waktu masuk ke Indonesia mereka buat surat jaminan ke pemerintah, Kementerian Perindustrian. Seharusnya kalau mau seperti ini (berhenti beroperasi) harus juga menghubungi pemerintah. Ini kan tidak mereka lakukan," tambahnya.

Menurutnya, pelaporan ini penting untuk melindungi hak konsumen. "Kalau tiba-tiba keluar seperti itu, siapa yang menjamin harga suku cadang dan servis tidak melambung? Pemerintahlah yang harus memastikan ini," imbuh David.

Sementara melalui broadcast yang tersebar di media maya, David juga meminta peran aktif pemerintah. Ia berharap otoritas terkait harus segera memanggil Ford untuk dimintai keterangan. "Pemerintah juga harus memanggil konsumen Ford agar hak-hak mereka tetap dilindungi," tulisnya.

Menurutnya, pernyataan Ford yang selama ini beredar di media massa, baik tercetak ataupun online tidak bisa dijadikan pegangan, selama "tidak diketahui dan disetujui oleh pemerintah dan konsumen."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya