Cerita Soeharto Rebut Pulpen Yusril Jelang Pengunduran Diri

Yusril sudah menulis 120 teks pidato, termasuk pidato kepresidenan. Tapi yang paling berkesan, menulis pidato pengunduran diri Soeharto.

oleh Liputan6 diperbarui 27 Jan 2016, 13:01 WIB
Almarhum Presiden RI ke-2 Soeharto menaiki sepeda motor yang dirancang oleh 12 insinyur muda Indonesia Astra di istana (24/9/1997). (ANTARA/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI. Saat itu, Yusril-lah yang menyusun teks pengunduran diri Soeharto.

Yusril dikenal sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto. Soal menulis teks pidato, Yusril mengaku diajar oleh Profesor Usman Ralibi, seorang pakar komunikasi politik yang mengajar mata kuliah propaganda politik.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV dan dikutip Liputan6.com, Rabu (27/1/2016), selama bekerja sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto, Yusril sudah menulis sekitar 120 teks pidato, termasuk pidato kepresidenan.

Pidato yang paling berkesan di antara semua yang pernah Yusril tulis adalah pidato terakhir Soeharto saat mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI.

Yusril pun menceritakan detik-detik jatuhnya Soeharto.

Pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di Cendana, kediaman Soeharto karena Soeharto membutuhkannya untuk dimintai pendapat.

Malam itu ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto gelisah pada malam menjelang kejatuhannya. "Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti," kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu.


Yusril dan rekan-rekannya pun rapat malam itu juga untuk membuat skenario pengunduran diri. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto.

Soeharto memilih kata 'berhenti' ketimbang 'mengundurkan diri'. Jika Soeharto menyampaikan 'mundur' sebagai presiden kepada MPR, lalu MPR menolak pengunduran dirinya, situasi akan jadi rumit.

"Kondisi selanjutnya tak terprediksi," ujar Yusril.

Maka demi keamanan, termasuk dari sisi hukum, Soeharto menyatakan secara sepihak 'berhenti' dari jabatan sebagai Presiden RI.

Namun Soeharto merasa ada yang kurang dengan teks pidato yang disusun Yusril dan lainnya. Saat berangkat ke Istana dari Cendana keesokan harinya pada 21 Mei 1998, Soeharto meminta Yusril menambahkan kalimat di naskah pidatonya dengan 'kabinet dinyatakan demisioner'.

Artinya, kabinet tak lagi punya kekuasaan, tapi tetap bekerja sampai terbentuknya kabinet baru di bawah presiden yang baru.

Namun permintaan Soeharto itu tak ditanggapi Yusril. Yusril ragu. Sebab menurut Yusril, BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden bisa menggantikan Soeharto meneruskan memimpin kabinet.

Tapi Soeharto berkeras. "Kalau tak mau tulis 'demisioner', sini saya sendiri yang tulis," kata Yusril mengulang ucapan Soeharto kala itu.

Soeharto kemudian merebut pulpen dari tangan Yusril dan menulis tambahan kalimat di naskah pidatonya, baru bergegas pergi ke Istana.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya