Liputan6.com, Jakarta - Izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia telah habis pada 28 Januari 2016 ini. Namun hingga saat ini perusahaan tersebut belum mendapat rekomendasi ekspor dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sehingga tidak bisa memperpanjang izin ekspor konsentrat.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan, sampai saat ini perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut belum memenuhi syarat rekomendasi ekspor, yaitu penambahan uang jaminan kesungguhan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebesar US$ 530 juta.
"Belum mendapat rekomendasi ekspor karena memang belum menyerahkan dana US$ 530 juta sebagai jaminan," kata Bambang, di Jakarta, Kamis (28/1/2016).
Baca Juga
Advertisement
Sayangnya, ketika Bambang ditanya aktivitas ekspor Freeport benar-benar berhenti karena habisnya izin tersebut, ia enggan menjawabnya. Bambang menyerahkan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. "Jadi yang menentukan bisa atau tidak Bea Cukai. Bukan saya," tegas Bambang.
Penambahan jaminan kesungguhan merupakan hukuman dari pemerintah kepada perusahaan tambang asal Amerika tersebut karena tidak dapat memenuhi target kemajuan pembangunan smelter.
Seharusnya Freport menunjukan kemajuan pembangunan smelter yang terletak di Gresik, Jawa Timur setiap enam bulan atau bersamaan dengan perpanjangan izin ekspor konsentrat. Untuk perpanjangan izin tahap ke tiga, target pembangunan smelter mencapai 60 persen, namun pada realisasinya hanya 14 persen.
"Kalau tidak sampai 60persen maka harus menempatkan jaminan kesungguhan," tutup Bambang.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pihak Freeport telah memberi tanggapan atas penambahan jaminan kesungguhan yang diminta pemerintah sebesar US$ 530 juta.
Namun, karena perekonomian dunia sedang bergejolak dengan penurunan harga komoditas, perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut ingin pemerintah memberikan keringanan.
"Saya sudah dapat update dari Pak Dirjen, intinya mereka akan berusaha memenuhi requirement itu. Tapi mereka minta dipertimbangkan situasi komoditi dunia, keuangan mereka," kata Sudirman.
Kementerian ESDM bersedia mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun ia menekankan Freeport Indonesia tetap wajib menjalankan kewajibannya tersebut dan membayar bea keluar 5 persen.
"Yang paling kita apresiasi, yuk kita sama-sama cari solusi. Yang wajib banget itu yang 5 persen. Untuk dana US$ 530 juta itu, kita memberikan mereka kesempatan untuk buktikan bahwa mereka sungguh-sungguh. Kalau mereka benar-benar tidak mampu ya kita cari jalan," tutur Sudirman.
Sudirman menuturkan, saat ini masih ada waktu untuk bernegosiasi sebelum waktu izin ekspor konsentrat habis pada 28 Januari 2016. Pemerintah pun tidak ingin kegiatan operasi Freeport Indonesia terhenti akibat kebijakan tersebut. (Pew/Gdn)