Liputan6.com, Stockhlom - Sekelompok pria bertopeng ditahan di Stockholm setelah menyebarkan pamflet yang berisi ancaman. Dalam lembaran itu, tertulis mereka akan 'menghukum' anak-anak jalanan pencari suaka dari Afrika Utara di ibukota Swedia.
Pihak keamanan mengatakan salah seorang pria ditahan karena melawan petugas polisi sementara yang lainnya ditahan karena memakai topeng di ruang publik.
Memakai topeng dan berkeliaran di tempat umum merupakan ilegal di Swedia karena dianggap mengganggu dan menakutkan orang-orang sekitar.
Juru bicara kepolisian mengatakan gerombolan pria itu diduga sengaja berkumpul dengan tujuan menyerang anak-anak pencari suaka.
Menurut surat kabar Aftonbladet, lebih dari 100 pria bertopeng berbaris dan berjalan menuju pusat kota Stockhlom pada Jumat malam sambil menyebarkan pamflet bertuliskan, "Cukup sudah! Kami akan menghukum anak-anak dari Afrika Utara yang berkeliaran dengan hukuman yang pantas," seperti dilansir dari The Guardian, Sabtu 30 Januari 2016.
Baca Juga
Advertisement
Menurut polisi, kelompok itu adalah gerombolan hooligan yang berhubungan dengan tim sepak bola Stockholm.
Aksi itu diduga sebagai aksi balasan akibat pembunuhan relawan imigran oleh salah seorang pencari suaka. Alexandra Mezher (22 tahun) ditusuk dengan pisau hingga tewas.
Kematian Mezher membawa pertanyaan betapa kacau-balau dan penuhnya kondisi pusat penampungan di Swedia. Hanya sedikit orang dewasa dan pekerja pengasuh anak-anak yang kebanyakan trauma oleh perang.
"Saya pikir orang-orang akan semakin khawatir bahwa kekerasan akan semakin meningkat karena banyaknya anak-anak dan pemuda yang tak ditemani orang dewasa berkeliaran di kota. Kebanyakan mereka yang datang ke Swedia banyak mengalami trauma kekerasan. Dan ini bukan masalah mudah," kata Perdana Menteri Swedia, Stefan Lofven.
Menurut Agen Imigrasi Swedia, angka ancaman dan kekerasan di fasilitas penampungan pengungsi bertambah hingga dua kali dibanding 2014.
Pada 2015, Swedia menampung lebih banyak lagi pengungsi. Faktanya, kekerasan semakin meningkat. Setidaknya 2 lusin pusat penampungan dihancurkan atau rusak terbakar tahun lalu. Di tahun yang sama, negara itu menerima lebih dari 160 ribu pencari suaka. Namun angka itu menurun sejak pengecekan tanda pengenal diberlakukan bulan ini.