Liputan6.com, Jakarta Tahun 1952, satu bencana besar menimpa SS Pendleton. Kapal tanker berbendera Amerika ini terbelah menjadi dua, sementara badai laut dahsyat tengah bergulung di sekitarnya. Sekitar 60 tahun kemudian, malapetaka ini diadaptasi dalam sebuah film produksi Walt Disney Studios, The Finest Hours. Film ini, diputar di bioskop Indonesia sejak 29 Januari lalu.
Film dibuka oleh Bernie Webber (Chris Pine), seorang anggota patroli laut peragu yang tengah mendekati gadis manis bernama Miriam Pentinen (Holliday Grainger). Hubungan keduanya, berujung pada lamaran yang diutarakan oleh sang gadis. Belum sempat Bernie meminta izin atasannya untuk menikah, ia dikirim untuk melakukan penyelamatan SS Pendleton dalam cuaca buruk.
Advertisement
Bernie berangkat dengan kapal kecil bersama tiga pelaut lain, yakni Andrew Fitzgerald (Kyle Gallner), Ervin Maske (John Magaro), dan Richard P. Livsey (Ben Foster). Semua tahu, menjalankan misi ini tak ada bedanya dengan bunuh diri. Sementara itu di tengah samudera, para kelasi kapal SS Pendleton yang dipimpin oleh Ray Sybert (Casey Affleck) tengah berjuang mati-matian memperpanjang nafas mereka. Sedapat mungkin mereka berupaya menahan agar setengah bagial kapal yang tersisa dapat mengapung sedikit lebih lama. Namun semakin lama, harapan mereka menguap ke udara.
Sementara itu di tengah samudera, para kelasi kapal SS Pendleton yang dipimpin oleh Ray Sybert (Casey Affleck) tengah berjuang mati-matian memperpanjang nafas mereka. Sedapat mungkin mereka berupaya menahan agar setengah bagian kapal yang tersisa dapat mengapung sedikit lebih lama. Namun semakin lama, harapan mereka menguap ke udara.
Berbeda dengan publik Amerika Serikat yang mungkin lebih familiar dengan tenggelamnya SS Pendleton, penonton Indonesia yang tak begitu paham kisah ini justru diuntungkan. Tak perlu mencari tahu tentang peristiwa ini sebelum menonton The Finest Hours. Percayalah, semakin sedikit yang Anda ketahui tentang peristiwa ini, semakin Anda terhanyut dan ingin mencari jawaban atas film ini.
Termasuk satu pertanyaan paling mendasar. Yakni, apakah kapal penyelamat kecil yang dengan entengnya dilempar dan digulung ombak itu dapat menyelamatkan puluhan awak SS Pendleton.
Satu hal yang tak bisa dibantah, kekuatan terbesar The Finest Hours adalah segala drama yang terjadi di laut. Mulai dari dahsyatnya special effect yang menggambarkan badai dan saat kecelakaan terjadi, juga kekalutan di atas Pendleton. Apalagi, mudah rasanya bersimpati pada awak kapal Pendleton dan regu penyelamat. Ada Tiny, tukang masak bertubuh raksasa yang berhati lembut, juga Ervin Maske, anak bawang di regu penyelamat yang masih lugu.
Sayang, pacuan adrenalin dan plot yang terjalin cukup rapat di laut tak bisa diimbangi dengan laju cerita di darat. Hampir seluruh bagian yang menampilkan sosok Miriam di daratan, berjalan kendor, bahkan sudah masuk taraf cukup mengganggu. Kala para lelaki di lautan bertarung menghadapi maut, tokoh Miriam—yang ironisnya digambarkan sebagai perempuan kuat—berkubang dalam emosinya sendiri.
Untungnya di bagian akhir ia masih memegang satu peran cukup krusial, sehingga porsi kehadirannya yang cukup banyak tak terlalu mubazir.
Cukup masuk akal bila sang sutradara Craig Gillespie menginginkan adanya bumbu romansa dalam film ini . Mengingat film ini berdasarkan kisah nyata, dramatisasi kisah cinta ini mungkin dimaksudkan sebagai satu hal baru yang disuntikkan dalam film ini. Hanya saja, ia rupanya gagal merajut agar drama di darat sama menarik, atau setidaknya memperkuat drama yang terjadi di samudera.