Ini Penyebab Harga Bahan Pangan di RI Mahal

Semakin panjang rantai perdagangannya, maka semakin tinggi biayanya dan akhirnya makin merugikan konsumen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Feb 2016, 16:36 WIB
Pedagang memotong daging sapi jualannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (25/1). Harga daging sapi di pasar tradisional di Jakarta naik dari Rp 95 ribu-Rp 100 ribu per kilogram (kg) menjadi Rp 130 ribu per kg. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Mata rantai pasokan dan distribusi barang di Indonesia terkenal ruwet dan panjang. Kondisi ini diperburuk dengan keuntungan atau marjin perdagangan dan pengangkutan (MPP) secara nasional untuk komoditas strategis rata-rata dari 10,42 persen sampai 31,90 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin dalam Konferensi Pers Inflasi Januari 2016 mengatakan, pola distribusi perdagangan komoditi strategis per propinsi sangat bervariasi.

Berdasarkan survei Poldis 2015, lanjutnya, distribusi perdagangan beras, cabai merah, bawang merah, jagung pipilan dan daging ayam ras dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan dua hingga sembilan fungsi kelembagaan usaha perdagangan.

"Pola terpanjang terjadi pada distribusi perdagangan cabai merah di Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan yang terpendek jalur distribusi perdagangan bawang merah di Propinsi Maluku Utara," jelas Suryamin di kantornya, Jakarta, Senin (1/2/2016).

Ia menggambarkan alur distribusi perdagangan cabai merah di Propinsi Jawa Tengah dari produsen sampai ke konsumen, melibatkan pedagang atau pengepul berlanjut ke distributor lalu ke sub distributor dan kemudian ke agen diteruskan ke pedagang grosir dan menuju swalayan atau supermarket atau pedagang eceran dan baru masuk ke tangan konsumen akhir  yaitu rumah tangga atau industri pengolahan atau kegiatan usaha lainnya.

Sementara pola terpendek jalur distribusi komoditas bawang merah di Propinsi Maluku Utara dari agen menuju pedagang eceran dan kemudian langsung ke konsumen akhir  yaitu kegiatan usaha lainnya atau rumah tangga.

Data BPS menunjukkan, alur distribusi terpanjang dan terpendek berdasarkan komoditas:

1. Beras terpanjang di DKI Jakarta dan terpendek di Sulawesi Utara
2. Cabai merah terpanjnag di Jawa Tengah dan terpendek di Sulawesi Utara
3. Bawang merah terpanjang dan terpendek masing-masing di Jawa Tengah dan Maluku Utara
4. Jagung pipilan terpanjang di Jawa Tengah dan terpendek di Sulawesi Utara
5. Daging ayam ras terpanjang di DKI Jakarta dan Kalimantan Barat yang terpendek.

"Rantai perdagangan ini yang bisa menyebabkan harga berbeda di produsen dengan konsumen akhir yang bedanya cukup besar," tegas Suryamin.

Parahnya lagi, kata Suryamin, rata-rata rasio marjin atau keuntungan perdagangan dan pengangkutan nasional menurut komoditi pada periode tahun lalu, tertinggi jagung pipilan sebesar 31,90 persen. Lalu bawang merah dan cabai merah masing-masing 22,61 persen dan 25,33 persen. Serta marjin daging ayam ras 11,63 persen dan beras 10,42 persen.

"Tapi ada juga yang modusnya marjin sampai lebih dari 50 persen dan di bawah 10 persen," terangnya.

Dengan demikian, Suryamin meminta kepada pemerintah untuk memotong mata rantai distribusi perdagangan di Indonesia agar harga pangan cenderung stabil di tingkat konsumen.

"Semakin panjang rantai perdagangannya, maka semakin tinggi biayanya dan akhirnya makin merugikan konsumen. Apalagi jika terlalu banyak marjin di setiap mata rantai," paparnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, pemerintah harus terus memantau perkembangan harga di tingkat produsen sampai konsumen dari waktu ke waktu.

"Jangan sampai terjadi moral hazard akibat profit yang berlebihan. Masa ada yang rata-rata marjin perdagangan dan pengangkutannya tinggi sekali lebih dari 50 persen. Ini yang harus diperhatikan pemerintah," harapnya. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya