Liputan6.com, Jakarta - Rupanya, kelompok radikal selalu mengincar anak-anak muda untuk direkrut menjadi pengikutnya. Terutama para remaja yang baru merantau untuk menempuh pendidikan tinggi.
Ketua Forum Komunikasi Penanggulangan Teroris (FKPT) DIY Abdul Muhaimin mengatakan mahasiswa yang baru datang ke Yogyakarta memiliki pengetahuan agama yang normatif tradisional. Hal inilah yang digunakan kelompok tertentu dalam menyebarkan paham radikal dengan mudah.
"Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Pemahaman agama masih normatif tradisional ketika masuk Yogyakarta sangat plural dan ketika mengalami kebingungan dimasuki paham paham itu. Anak muda paling disasar," ujar Muhaimin di Yogyakarta, Senin 1 Februari 2016.
Bahkan, Muhaimin mengatakan pihaknya sulit mengimbangi pergerakan kelompok radikal ini. Sebab, penyebaran paham radikal yang mereka lakukan sangat masif.
"Eskalasi ektremisme di Yogyakarta dalam 50% penelitian kami basis ekstremisme merata. Kasus ekstremisme cukup tinggi. Ekstremisme ini dapat donate dari tokoh terkenal sehingga pergerakan sangat masif," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu dari hasil penelitian FKPT Kabupaten Sleman dan Bantul terlihat traffic yang tinggi dalam persebaran paham radikal ini. Bahkan di DIY narasi ekstremis seperti Pancasila thogut (sesat) sudah sangat akrab.
"Saya melihat dari banyak variabel paling substantif itu pemahaman nasionalisme semakin menurun. Pemikiran yang tidak sesuai dengan Pancasila. Mungkin ketidakmampuan mensinergikan antara Pancasila dengan agama. Religius tapi kurang nasionalis. Nasionalis tapi kurang religius itu terjadi sekarang," ujar Muhaimin.
Pemikiran Hitam Putih
Sementara, Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk menyatakan bahwa salah satu ciri orang yang mudah untuk berfikir radikal adalah mereka yang memandang segala sesuatu secara kaku. Hanya hitam dan putih.
Pola pikir hitam putih tersebut, dikatakan Hamdi, merupakan akibat dari sistem pedidikan yang doktriner. Masih banyak institusi pendidikan yang menuntut harus patuh pada guru, tidak boleh mendebat, hafalan, tidak didorong berpikir kritis, kreatif dan inovatif.
"Hal tersebut menjadi bibit yang pas untuk melahirkan orang-orang yang berfikir radikal kalau ditambah dengan pendidikan di rumah yang cenderung otoriter, tidak toleran terhadap perbedaan pendapat, belajar agama penafsiran hitam putih, sedikit-sedikit halal haram," ujar Hamdi di Fakultas Psikologi UI, Senin 1 Februari 2016.
Hamdi berharap, para pendidik dan ustadz dalam berceramah atau menyampaikan ilmu tidak hanya menakut-nakuti. Namun harus memberi pemahaman yang rasional.
"Pendidikan yang mencerahkan ini harus mulai dari kecil, di rumah, di sekolah, di pesantren, di perguruan tinggi," pungkas Hamdi.