Liputan6.com, Jakarta - Awal tahun ini masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan penutupan dua perusahaan elektronik raksasa asal Jepang, yakni Panasonic dan Toshiba. Penyebabnya adalah daya beli masyarakat Indonesia yang terus tergerus, sehingga berdampak pada penjualan produk elektronik.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Iqbal, mengungkapkan Toshiba telah menutup pabrik televisi di Kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat. Padahal, hanya ini satu pabrik yang tersisa dari enam perusahaan Toshiba lain yang sudah tutup sebelumnya dalam 10 tahun terakhir.
"Jadi, tidak ada lagi pabrik Toshiba. Yang ada Toshiba memproduksi printer di Batam, tapi skalanya kecil. Nah, yang tutup ini adalah pabrik televisi Toshiba terbesar di Indonesia, selain di Jepang," kata dia saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Baca Juga
Advertisement
Said mengatakan penutupan pabrik bakal dieksekusi pada April 2016. Saat ini sedang terjadi proses negosiasi pesangon antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja pabrik tersebut.
Said mengatakan perusahaan lainnya yang ikut terhantam pemburukan ekonomi adalah Panasonic Lighting. Sebanyak dua pabriknya resmi ditutup, seperti Panasonic Lighting Indonesia (PLI) di Pasuruan, Jawa Timur, awal Januari ini dan satu pabrik lainnya di Kawasan Industri Bekasi pada Februari 2016.
"Dalam 10 tahun terakhir, ada 13 perusahaan di Indonesia. Sebelumnya ada Panasonic komponen sudah ditutup, sekarang tinggal tiga, yakni Panasonic Manufakturing Indonesia (PMI), Panasonic Energy Indonesia yang produksi baterai, dan Panasonic Healthcare yang produksi alat kesehatan," ujar Said.
Ia beralasan dua perusahaan elektronik raksasa ini gulung tikar dengan menutup tiga pabrik di Indonesia karena dihantam pelemahan daya beli masyarakat di Tanah Air. Kondisi tersebut juga menggerus penjualan produk elektroniknya.
"Diakui manajemen Toshiba misalnya, produk televisi Toshiba tidak laku lagi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya banyak yang beli. Itu karena daya beli masyarakat melemah akibat upah murah pemerintah," ujar Said. (Fik/Ahm)