Liputan6.com, Kairo - Pada masa lampau, 4.500 tahun lalu, Khentkaus III adalah seorang ratu pada Periode Kerajaan Tua (Old Kingdom) Mesir.
Arti pentingnya dalam sejarah tak disadari, hingga akhirnya para arkeolog menemukan makamnya di Abu-Sir, barat daya Kairo --hanya 198 meter jaraknya dari piramida suaminya, Firaun Neferefre.
Para arkeolog asal Ceko mengetahui identitas sang ratu dari beberapa grafiti yang tertulis di dinding makamnya -- yang memberikan petunjuk tentang nama dan status keningratannya.
Lokasi makamnya juga memberi isyarat soal statusnya sebagai istri sang penguasa. Sebelumnya, para ahli sama sekali tak tahu siapa gerangan pendamping Firaun Neferefre.
Baca Juga
Advertisement
Ratu Khentkaus III diyakini hidup selama periode kekacauan selama era Old Kingdom, sekitar tahun 2640 hingga 2150 Sebelum Masehi.
Selama Dinasti Kelima, sang ratu menjadi saksi pembangunan piramida-piramida, beberapa di antaranya dibangun di dekat lokasi makamnya kelak. Salah satunya diperuntukkan untuk suaminya.
Namun, bukan itu saja yang didapat para arkeolog. Makamnya memberikan petunjuk mengerikan: tentang kehancuran dunianya yang mengarah pada 'kiamat kecil' yang disebabkan perubahan iklim. Yang membinasakan peradaban pada masa itu.
Kehancuran
Makam Khentkaus III mengisahkan tentang bagaimana peradaban kita bisa hancur lebur, tinggal abu dan debu, seperti yang terjadi pada masa sang ratu.
Salah satu arkeolog yang meneliti makam sang ratu, Profesor Miroslav Barta menjelaskan, sejumlah hal terjadi selama periode Old Kingdom.
Kala itu, demokrasi sedang bangkit, nepotisme merajalela, dan memiliki konsekuensi mengerikan. Kelompok-kelompok kepentingan memainkan peran besar dalam masyarakat. Namun, perubahan iklim membuat kerajaan pada masa itu -- begitu juga di Timur Tengah dan Eropa Barat -- bertekuk lutut.
200 tahun setelah kematian Khentkaus III, Sungai Nil tak lagi membanjiri sepanjang bantarannya, tak ada lagi lumpur subur yang terangkat ke permukaan. Kekeringan panjang membuat kerajaan-kerajaan memasuki masa senjakala.
"Tanpa luapan banjir Sungai Nil, tak adanya panen, tentu saja berpengaruh buruk pada penarikan pajak. Dan tanpa adanya pajak, tak ada dana untuk membiayai aparat, menegakkan ideologi, dan mempersatukan kerajaan," kata dia, seperti dikutip dari situs Inquisitr, Selasa (2/2/2016). Peradaban para pembuat piramida pun binasa.
Nasib Old Kingdom bisa jadi terulang di masa modern ini. Bagaimana perubahan iklim yang mempengaruhi Sungai Nil pada era Ratu Khentkaus bisa juga membuat kehidupan saat ini menuju ke arah kehancuran.
Barta menambahkan, sama seperti masa lalu, kehidupan manusia saat ini juga menghadapi tantangan internal dan eksternal.
"Dengan mempelajari masa lalu, kita bisa belajar banyak hal untuk masa sekarang . Kita tak beda dengan orang-orang pada masa lalu, banyak orang berpikir, 'kan zamannya beda'. Tapi, sejatinya tidak demikian," kata Barta, seperti dikutip dari CNN.
Ia menambahkan, meski kehancuran adalah sebuah keniscayaan, namun manusia bisa melakukan sesuatu untuk menghadapinya.
Berta berharap makam Khentkaus III memberikan pelajaran berharga dan membantu manusia modern menghindari kiamat.
Sementara itu, para peneliti terus menelaah temuan mereka, untuk menentukan usia sang ratu, mengapa ia meninggal dunia.
Para ahli juga mencoba untuk merekonstruksi wajah sang Ratu Mesir, namun tak mungkin. Tengkorak dan kerangkanya hancur. Diduga, itu akibat ulah para perampok makam.