Ilmuwan Tiongkok `Menciptakan` Monyet Autistik

Karena kesulitan meneliti autisme pada tikus percobaan, sejumlah ilmuwan 'menciptakan' monyet autistik untuk mempermudah penelitian.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 02 Feb 2016, 22:00 WIB
Ilustrasi monyet laboratorium. (Sumber New York Times)

Liputan6.com, Shanghai - Untuk pertama kalinya, para ilmuwan di Tiongkok melakukan rekayasa genetik pada monyet sehingga hewan itu membawa gen autisme manusia. Hasilnya, monyet tersebut mengembangkan sejumlah gejala yang serupa dengan manusia yang memiliki autisme.

Menurut mereka, hal ini dilakukan supaya lebih mengerti tentang autisme pada manusia sehingga berpotensi mengembangkan cara pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh tim di Lembaga Ilmu Saraf di Shanghai dan temuannya telah diterbitkan dalam jurnal Nature.

Dikutip dari Huffington Post pada Selasa (2/2/2016), selama ini penelitian tentang autisme yang diujikan pada hewan mengandalkan tikus laboratorium. Namun MIT Technical Review menyebut percobaan demikian “mengecewakan karena hanya ada sedikit petunjuk pemecahan masalah itu pada manusia” yang disebabkan oleh perbedaan mencolok antara otak manusia dan otak tikus.

Para ilmuwan Tiongkok ‘menciptakan’ beberapa monyet khusus untuk penelitian ini. Mereka mencangkokkan gen MECP2 –yang dianggap berkaitan dengan autisme pada manusia—kepada virus yang tidak berbahaya yang kemudian disuntikkan ke dalam sel telur monyet macaque. Sel-sel telur itu kemudian dibuahi dan ditanamkan ke dalam monyet-monyet betina.

Pada usia kira-kira 11 bulan, anak-anak monyet transgenik itu mulai menunjukkan perilaku asosial, termasuk mondar-mandir dalam lingkaran dan menjadi stress ketika ditatap matanya.

Kepala tim penelitian Zilong Qiu menuliskan, “Ketika dibandingkan dengan monyet-monyet liar, maka monyet-monyet transgenik MECP2 ini lebih lambat bertambah berat, memiliki metabolisme asam lemak yang abnormal, lebih sering menunjukan gerakan berulang melingkar dan menunjukkan peningkatan tanggapan-tanggapan stress dalam ujian-ujian kecemasan terkait dengan ancaman.”

“Terlebih lagi, monyet-monyet transgenik menunjukkan interaksi sosial yang lebih sedikit dibandingkan dengan monyet-monyet liar dan juga waktu interaksi yang kurang ketika disandingkan dengan monyet-monyet transgenik lainnya dalam uji interaksi sosial,” lanjutnya.

Autisme adalah sekelompok penyimpangan rumit pada perkembangan otak ditandai—antara lain—dengan kesulitan interaksi sosial dan komunikasi verbal maupun nonverbal, serta perilaku berulang, demikian menurut laman Autism Speaks.

Statistik (untuk konteks AS) keluaran Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa 1 di antara 68 anak berada di spektrum autisme. Autisme sendiri 5 kali lebih sering terjadi pada anak lelaki daripada anak perempuan.

Namun demikian, sejumlah pihak mengajukan pertanyaan etika tentang penelitian pada monyet-monyet tersebut. Sebaliknya, sejumlah pihak lain justru memuji percobaan itu.

Profesor psikiatri di University of California, Melissa Bauman, mengatakan bahwa penelitian itu “Membuka kemungkinan untuk menelaah faktor-faktor risiko genetik pada spesies yang terhubung lebih dekat dengan manusia.”

Para penulis penelitian mengatakan bahwa temuan mereka “membuka jalan untuk penggunaan secara efisien monyet-monyet macaque dengan rekayasa genetik guna mempelajari kekacauan otak.”

Sebagai catatan, hewan-hewan primata telah digunakan dalam sejumlah penelitian terkini untuk mempelajari penyakit Parkinson’s dan Huntington’s.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya