Liputan6.com, New South Wales - Serangkaian ancaman bom lewat telepon diterima di 30 sekolah seantero Australia dalam seminggu terakhir. Setelah dilakukan pemeriksaan, pihak keamanan memastikan hal itu dilakukan oleh hacker yang meretas ke server-server penyedia layanan telepon otomatis.
Aksi serupa juga terjadi secara bersamaan di institusi pendidikan dasar di Prancis, Italia, Belanda, Jepang dan Inggris.
Ancaman pertama kali terjadi pada 29 Januari dan tak terlalu diungkap oleh media di Australia karena polisi di New South Wales (NSW) meminta para reporter untuk tidak memberikan perhatian bagi penelepon yang mengancam akan melakukan penembakan massal serta meledakkan bom di sekolah.
Namun pihak sekolah merasakan, gangguan semakin serius sehingga membuat para pengajar, murid dan orang tua tidak nyaman dengan ancaman yang berlangsung hingga Februari tersebut.
Pada Selasa kemarin, 17 sekolah di Victoria, 9 di Queensland dan 5 di Canberra terpaksa mengevakuasi murid-muridnya.
Baca Juga
Advertisement
Dan pada hari ini, Rabu (3/2/2016) 8 sekolah di Queensland mendapatkan ancaman yang sama. Pun sekolah di Victoria, dan NSW di bagian tengah.
Kepala polisi Victoria, Graham Ashton mengatakan bahwa ancaman itu hoax semata namun tetap saja mereka harus tetap melakukan evakuasi dan tidak menanggapnya enteng.
"Mereka berharap kita lengah dan menggubris ancaman itu, dan bagaimana bahwa pada saat itu kami lengah dan ternyata bukan hoax?" kata Ashton seperti dilansir dari The Guardian.
Dia juga tak percaya bahwa pelaku hoax saling terinspirasi satu sama lain, melainkan sebuah sistem cangggih yang bisa melakukan ancaman secara bersamaan.
Bagaimanapun, kelompok peretas 'Evacuation Squad' mengaku bertanggung jawab atas ancaman telepon ke sekolah di Eropa, AS, Jepang dan Afrika Selatan. Namun menurut Viktor Olyavich, perwakilan grup itu, mereka tidak bertanggung jawab terhadap ancaman di Australia.
Menteri pendidikan untuk wilayah Victoria, James Merlino, Australia Federal Police (AFP) dan polisi tengah melakukan penyelidikan secara global mencari pelaku.
"Ini bukan wilayah hukum yang mudah," ujarnya kepada ABC Radio. "Dunia hacker itu kompleks, sulit untuk mencari pelakunya," imbuhnya lagi.
Sejauh ini, ancaman-ancaman itu tidak berhubungan dengan terorisme.
Profesor Sanjay Jha, direktur untuk keamanan siber di Universitas NSW mengatakan polisi sulit menemukan pelaku.
Ada banyak server di internet untuk para pelaku usaha untuk melakukan telepon otomatis, contohnya perbankan yang ingin memperingatkan nasabah jika ada transaksi misterius. Atau perusahaan telemarketing yang ingin menawarkan produknya.
"Apa yang terjadi dengan server itu adalah, kita bisa membuat akun dan saat pembuatannya, mereka tidak memerlukan identitas kita sebenarnya," kata Jha.
"Itu berarti semua orang bisa melakukannya dengan identitas palsu dan server berada di luar Australia sehingga sulit untuk melacaknya," pungkas Jha.